I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini hutan telah mengalami banyak degradasi dan deforestasi (kerusakan hutan) akibat perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab. Banyak kerusakan hutan terjadi akibat adanya pemenuhan bahan baku industri, industri perkebunan kelapa sawit, adanya pengelolaan industri pertambangan dan penebangan hutan secara liar dengan mencuri kayunya untuk kebutuhan individu yang tidak bertanggung jawab. kKerusakan hutan ini menyebabkan penurunan dan kepunahan keanekaragaman hayati. Saat ini tekanan lebih banyak difokuskan pada peran hutan sebagai cadangan utama keanekaragaman hayati dan komponen penting dalam siklus karbon dan pemanasan global maupun sistem hidrologi dan nilai keindahan atau estetika.
Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan iklim global adalah semakin berkurangnya jumlah hutan diseluruh dunia yang diakibatkan dari perilaku manusia itu sendiri. Misalnya saja Indonesia saat ini yang iklimnya menjadi tidak tentu, kadang panas dan terkadang hujan yang tidak menentu. Iklim yang tidak tentu ini juga menyebabkan para petani kesusahan untuk mencari waktu yang tepat dalam menanam padi. Itu merupakan salah satu dampak kecil yang disebabkan oleh semakin menurunnya jumlah hutan yang berada di Indonesia.
Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar berasal dari kegiatan industri, terutama industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang diberikan sehingga mengarah pada pembalakan liar. Laju deforestasi dalam 5 tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Penyebab deforestasi terbesar kedua di Indonesia, berasal dari pengalihan fungsi hutan (konversi hutan) menjadi perkebunan. Konversi hutan menjadi area perkebunan (seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta ha hutan sampai akhir 1997. Bila keadaan seperti ini berjalan terus, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu :
1. Mengetahui pengertian deforestasi.
2. Mengetahui penyebab deforestasi.
3. Mengetahui laju deforestasi di Indonesia.
II ISI
Deforestasi merupakan suatu kondisi saat tingkat luas area hutan yang menunjukkan penurunan secara kualitas dan kuantitas.
Deforestasi di Indonesia
Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui atau mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan amphibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72%. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektare per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektare per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektare hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektare berada dalam kawasan hutan.
Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektare. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektare atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu melakukan penebangan tak terkendali dan merusak, pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat luas, serta pengusaha pertambangan membuka kawasan-kawasan hutan. Sementara itu rakyat digusur dan dipinggirkan dalam pengelolaan hutan yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka. Dan hal ini juga diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Penebangan hutan di Indonesia yang tak terkendali telah dimulai sejak akhirtahun 1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap, dimana orang melakukan kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970. Dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri di tahun 1990, yang melakukan tebang habis (land clearing). Selain itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan.
Di tahun 1999, setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama juga terjadi peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa izin yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat yang dibiayai pemodal (cukong) yang dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan.
Faktor penyebab deforestasi di Indonesia
Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Pertumbuhan industri pengolahan kayu dan perkebunan di Indonesia terbukti sangat menguntungkan selama bertahun-tahun, dan keuntungannya digunakan oleh rejim Soeharto sebagai alat untuk memberikan penghargaan dan mengontrol teman-teman, keluarga dan mitra potensialnya. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, negara ini secara dramatis meningkatkan produksi hasil hutan dan hasil perkebunan yang ditanam di lahan yang sebelumnya berupa hutan. Dewasa ini Indonesia adalah produsen utama kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan kertas, disamping beberapa hasil perkebunan, misalnya kelapa sawit, karet dan coklat Pertumbuhan ekonomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan atau hak-hak penduduk lokal.
Untuk saat ini, penyebab deforestasi hutan semakin kompleks. Kurangnya penegakan hukum yang terjadi saat ini memperparah kerusakan hutan dan berdampak langsung pada semakin berkurangnya habitat orangutan secara signifikan.
Penyebab deforestasi di Indonesia, yaitu :
Hak Penguasaan Hutan
Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang telah disurvei, masuk dalam kategori “sudah terdegradasi”. Areal konsesi HPH yang mengalami degradasi memudahkan penurunan kualitasnya menjadi di bawah batas ambang produktivitas, yang memungkinkan para pengusaha perkebunan untuk mengajukan permohonan izin konversi hutan. Jika permohonan ini disetujui, maka hutan tersebut akan ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan.
Hutan tanaman industri
Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami, sedangkan sisanya seluas 7 juta ha menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif.
Perkebunan
Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Sisanya seluas 3 juta ha lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Banyak perusahaan yang sama, yang mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan. Dan hubungan yang korup berkembang, dimana para pengusaha mengajukan permohonan izin membangun perkebunan, menebang habis hutan dan menggunakan kayu yang dihasilkan utamanya untuk pembuatan pulp, kemudian pindah lagi, sementara lahan yang sudah dibuka ditelantarkan.
llegal logging
Illegal logging adalah merupakan praktek langsung pada penebangan pohon di kawasan hutan negara secara illegal. Dilihat dari jenis kegiatannya, ruang lingkup illegal logging terdiri dari : •Rencana penebangan, meliputi semua atau sebagian kegiatan dari pembukaan akses ke dalam hutan negara, membawa alat-alat sarana dan prasarana untuk melakukan penebangan pohon dengan tujuan eksploitasi kayu secara illegal. Penebangan pohon dalam makna sesunguhnya untuk tujuan eksploitasi kayu secara illegal. Produksi kayu yang berasal dari konsesi HPH, hutan tanaman industri dan konversi hutan secara keseluruhan menyediakan kurang dari setengah bahan baku kayu yang diperlukan oleh industri pengolahan kayu di Indonesia. Kayu yang diimpor relatif kecil, dan kekurangannya dipenuhi dari pembalaka ilegal. Pencurian kayu dalam skala yang sangat besar dan yang terorganisasi sekarang merajalela di Indonesia; setiap tahun antara 50-70 persen pasokan kayu untuk industri hasil hutan ditebang secara ilegal. Luas total hutan yang hilang karena pembalakan ilegal tidak diketahui, tetapi seorang mantan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan, Titus Sarijanto, baru-baru ini menyatakan bahwa pencurian kayu dan pembalakan ilegal telah menghancurkan sekitar 10 juta ha hutan Indonesia.
Konvensi Lahan
Peran pertanian tradisional skala kecil, dibandingkan dengan penyebab deforestasi yang lainnya, merupakan subyek kontroversi yang besar. Tidak ada perkiraan akurat yang tersedia mengenai luas hutan yang dibuka oleh para petani skala kecil sejak tahun 1985, tetapi suatu perkiraan yang dapat dipercaya pada tahun 1990 menyatakan bahwa para peladang berpindah mungkin bertanggung jawab atas sekitar 20 persen hilangnya hutan. Data ini dapat diterjemahkan sebagai pembukaan lahan sekitar 4 juta ha antara tahun 1985 sampai 1997.
Program Transmigrasi
Transmigrasi yang berlangsung dari tahun 1960-an sampai 1999, yaitu memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lainnya. Program ini diperkirakan oleh Departemen Kehutanan membuka lahan hutan hampir 2 juta ha selama keseluruhan periode tersebut. Disamping itu, para petani kecil dan para penanam modal skala kecil yang oportunis juga ikut andil sebagai penyebab deforestasi karena mereka membangun lahan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit dan coklat, di hutan yang dibuka dengan operasi pembalakan dan perkebunan yang skalanya lebih besar. Belakangan ini, transmigrasi “spontan” meningkat, karena penduduk pindah ke tempat yang baru untuk mencari peluang ekonomi yang lebih besar, atau untuk menghindari gangguan sosial dan kekerasan etnis. Estimasi yang dapat dipercaya mengenai luas lahan hutan yang dibuka oleh para migran dalam skala nasional belum pernah dibuat.
Kebakaran Hutan
Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka lahan, dan oleh masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan atau kegiatan operasi HPH mengakibatkan kebakaran besar yang tidak terkendali, yang luas dan intensitasnyan belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 5 juta ha hutan terbakar pada tahun 1994 dan 4,6 juta ha hutan lainnya terbakar pada tahun 1997-98. Sebagian dari lahan ini tumbuh kembali menjadi semak belukar, sebagian digunakan oleh para petani skala kecil, tetapi sedikit sekali usaha sistematis yang dilakukan untuk memulihkan tutupan hutan atau mengembangkan pertanian yang produktif
Pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai tergangggu akibatnya adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya akan terganggu. Pada musim kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan, sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan dan sulit dideteksi, dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama (berbulan-bulan). Dan baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif.
DAMPAK DEFORESTASI
Kerugian yang diderita negara akibat laju deforestasi hutan di Indonesia diperkirakan dapat mencapai hingga sekitar Rp71 triliun, menurut lembaga swadaya masyarakat Indonesia Corruption Watch.
Berdasarkan data riset ICW yang diterima di Jakarta, kerugian dari aspek laju deforestasi hutan pada periode 2005-2009 mencapai 5,4 juta hektare atau setara Rp71,28triliun.
Jumlah tersebut, masih menurut ICW, terdiri atas kerugian nilai tegakan (Rp64,8 triliun) dan provisi sumberdaya hutan (Rp6,48 triliun). Kerugian tersebut masih ditambah tidak diterimanya dana reboisasi.
ICW juga memaparkan bahwa lembaga swadaya masyarakat Human Rights Watch pernah meluncurkan riset pada 2009 yang menyebutkan bahwa praktik korupsi dan mafia sektor kehutanan setidak-tidaknya merugikan negara rata-rata Rp20 triliun per tahun.
Angka tersebut dinilai tidak sebanding antara risiko kerusakan dan kerugian yang diderita dengan pendapatan negara.
ICW mengingatkan, Komisi Pemberantasan Korupsi pernah merilis kajian terkait 17 masalah sistemik dalam perencanaan dan pengawasan kawasan hutan.
Sebanyak sembilan dari 17 masalah sistemik tersebut terkait masalah regulasi, tiga terkait kelembagaan, empat terkait Tata Laksana, dan satu terkait manajemen sumberdaya Alam.
Hal itu dinilai menunjukkan adanya masalah serius dalam pengelolaan hutan di Indonesia.
Untuk itu, LSM tersebut mendesak agar segera direalisasikan reformasi dan pembenahan di sektor kehutanan, dan mendesak Menteri Kehutanan untuk segera memperbaiki 17 masalah sistemik yang telah dirilis KPK.
Dampak Utama dari Pengundulan Hutan adalah Longsor, Banjir dan Kekeringan. Tanah longsor sering terjadi di Indonesia, diakibatkan penggundulan hutan bertahun-tahun. Pegiat lingkungan hidup memperingatkan tanah longsor disebabkan penebangan hutan secara eksesif dan gagalnya penanaman kembali hutan.
Terjadinya bencana tanah longsor dan banjir di Wilayah Kabupaten Cianjur menunjukkan peristiwa yang berkaitan dengan masalah tanah. Hujan dan Banjir telah menyebabkan pengikisan lapisan tanah oleh aliran air yang disebut erosi yang berdampak pada hilangnya kesuburan tanah serta terkikisnya lapisan tanah dari permukaan bumi. Banjir akan bisa menjadi lebih besar jika penyimpan air (water saving) tidak bisa menahan air limpasan. Hal ini bisa terjadi ketika hutan yang berfungsi sebagai daya simpan air tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Hutan dapat mengatur fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi. Kejadian banjir ini akan menjadi kejadian tahunan daerah hilir yang rawan bencana apabila pengelolaan bagian hulu tidak diperbaiki dengan segera, baik melalui reboisasi/penghijauan dan upaya konservasi tanah.
Bencana Tanah longsor terjadi disebabkan tak ada lagi unsur yang menahan lapisan tanah pada tempatnya sehingga menimbulkan kerusakan. Apalagi untuk wilayah Cianjur Selatan merupakan daerah perbukitan dan bertebing. Daerah Cianjur Selatan ini termasuk dalam kategori daerah Rawan Longsor. Jika Jika Penggundulan Hutan dibiarkan terus berlangsung, Longsor dan banjir Akan datang silih berganti, bukan mustahil akhirnya lingkungan berubah menjadi padang tandus, pada akhirnya kekeringan tak dapat di elakan. Kekeringan akan terjadi sebab pasokan air hujan ke dalam tanah (water saving) rendah dan cadangan air di musim kemarau berkurang ini yang menyebabkan terjadi kekeringan berkepanjangan dan hilangnya mata air.
Dampak Keanekaragaman Hayati
Meskipun hutan tropis hanya mencakup sekitar 7 persen dari lahan kering bumi, mereka mungkin pelabuhan sekitar setengah dari semua spesies di Bumi. Banyak spesies yang sangat khusus untuk microhabitats dalam hutan yang mereka hanya dapat ditemukan di daerah kecil. spesialisasi mereka membuat mereka rentan terhadap kepunahan. Selain spesies yang hilang ketika suatu daerah benar-benar gundul, tanaman dan hewan dalam fragmen hutan yang tetap juga menjadi semakin rentan, kadang-kadang bahkan berkomitmen, untuk kepunahan. Tepi-tepi potongan-potongan kering dan diterpa angin panas; pohon hutan hujan dewasa sering mati berdiri di pinggiran. Cascading perubahan jenis pohon, tumbuhan, dan serangga yang dapat bertahan dalam fragmen cepat mengurangi keanekaragaman hayati di hutan yang masih tersisa. Orang mungkin tidak setuju tentang apakah punahnya spesies lain melalui tindakan manusia adalah masalah etis, tapi ada sedikit keraguan tentang masalah-masalah praktis yang menimbulkan kepunahan.
Dampak Tanah
Dengan semua lushness dan produktivitas yang ada di hutan tropis, dapat mengejutkan mengetahui bahwa tanah tropis sebenarnya sangat tipis dan miskin unsur hara. Underlying “orang tua” cuaca rock cepat pada temperatur tinggi daerah tropis dan hujan lebat, dan dari waktu ke waktu, sebagian besar telah mencuci mineral dari tanah. Hampir semua kandungan gizi dari hutan tropis di tanaman yang hidup dan sampah membusuk di lantai hutan.
Bila suatu daerah benar-benar gundul untuk pertanian, petani biasanya membakar pohon-pohon dan vegetasi untuk membuat lapisan pemupukan abu. Setelah ini slash-dan-bakar deforestasi, waduk gizi hilang, banjir dan tingkat erosi tinggi, dan tanah sering menjadi tidak dapat mendukung tanaman hanya dalam beberapa tahun. Jika daerah tersebut kemudian berubah menjadi padang rumput ternak, tanah dapat menjadi padat juga, memperlambat atau mencegah pemulihan hutan.
Dampak Sosial
Hutan tropis adalah rumah bagi jutaan asli (adat) orang yang membuat mahlukmahluk mereka melalui subsisten, berburu dan mengumpulkan pertanian, atau melalui berdampak rendah pemanenan hasil hutan seperti karet atau kacang. Deforestasi di wilayah adat oleh penebang, penjajah, dan pengungsi seringkali memicu konflik kekerasan. pelestarian hutan dapat secara sosial memecah-belah, juga. Nasional dan pemerintah internasional dan badan-badan bantuan berjuang dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa tingkat keberadaan manusia, jika ada, sesuai dengan tujuan konservasi di hutan tropis, bagaimana menyeimbangkan kebutuhan masyarakat adat dengan memperluas populasi pedesaan dan pembangunan ekonomi nasional, dan apakah mendirikan besar , murni, kawasan lindung tak berpenghuni-bahkan jika itu berarti menghapus penduduk saat ini-harus menjadi prioritas tertinggi dari upaya konservasi di hutan tropis.
Dampak Iklim: Curah Hujan dan Suhu
Sampai tiga puluh persen dari hujan yang jatuh di hutan tropis hutan hujan adalah air yang telah didaur ulang ke atmosfir. Air menguap dari tanah dan vegetasi, mengembun menjadi awan, dan jatuh lagi sebagai hujan dalam siklus diri-air abadi. Selain mempertahankan curah hujan tropis, penguapan mendinginkan permukaan bumi. Dalam banyak model komputer iklim di masa depan, menggantikan hutan tropis dengan pemandangan padang rumput dan tanaman menciptakan kering, iklim lebih panas di daerah tropis. Beberapa model juga memprediksi bahwa hutan tropis akan mengganggu pola curah hujan jauh di luar daerah tropis, termasuk China, Meksiko utara, dan Amerika selatan-tengah Amerika.
Sebagian besar prediksi iklim curah hujan menurun berdasarkan pengganti seragam dan hampir lengkap hutan tropis dengan padang rumput dan ladang. Namun, deforestasi sering hasil dalam pembukaan fashion yang tambal sulam-jalan bercabang dalam pola tulang ikan, misalnya, atau pulau gundul dalam lautan hutan. Pada skala lokal ini, deforestasi benar-benar dapat meningkatkan curah hujan dengan menciptakan “pulau-pulau panas” yang meningkatkan terbit dan menjungkirbalikkan udara (konveksi) yang mengarah ke awan dan hujan. Awan dan curah hujan menjadi terkonsentrasi di atas pembukaan. Apakah peningkatan curah hujan lokal akan bertahan wilayah yang lebih besar dan lebih besar hutan dibersihkan saat ini tidak diketahui. Jawaban dapat berasal dari model iklim yang lebih canggih yang secara akurat mewakili kemajuan tambal sulam pemandangan sebagian gundul.
Upaya pelestarian Lingkungan dapat dilakukan dengan cara menggalakkan kegiatan menanam pohon atau penghijauan kembali (reboisasi) terhadap tanah yang semula gundul. Untuk daerah perbukitan atau pegunungan yang posisi tanahnya miring perlu dibangun terasering atau sengkedan, sehingga mampu menghambat laju aliran air hujan.
Pelestarian hutan Perlu dan Harus secapatnya dilaksanakan. Eksploitasi hutan yang terus menerus berlangsung sejak dahulu hingga kini tanpa diimbangi dengan penanaman kembali, menyebabkan kawasan hutan menjadi rusak. Pembalakan liar yang dilakukan manusia merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan hutan. Padahal hutan merupakan penopang kelestarian kehidupan di bumi, sebab hutan bukan hanya menyediakan bahan pangan maupun bahan produksi, melainkan juga penghasil oksigen, penahan lapisan tanah, dan menyimpan cadangan air.
Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian semakin merebak karena untuk usaha pertanian bergeser dari lahan subur yang terus berkurang ke lahan marginal yang kurang subur (hutan), demikian pula penebangan hutan tak terkendali untuk memenuhi kebutuhan kayu baik untuk bahan bagunan, bahan perkakas rumah tangga, maupun untuk bahan bakar. Kita bisa menghitung berapa volume kayu untuk semua kebutuhan tadi, dan berapa dari luar Jawa yang masuk, dan berapa yang dihasilkan oleh Perhutani, maka akan tidak seimbang, sehingga kekurangan itu berasal dari hutan di sekitar kita sendiri, yang seharusnya kita lestarikan dan kita jaga bersama.
Upaya yang perlu dilakukan untuk melestarikan hutan:
Reboisasi atau penanaman kembali hutan yang gundul.
Melarang pembabatan hutan secara sewenang-wenang.
Menerapkan sistem tebang pilih dalam menebang pohon.
Menerapkan sistem tebang–tanam dalam kegiatan penebangan hutan.
Menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan hutan.
Oleh sebab itu, kepada semua pihak yang bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan lindung, baik Perum Perhutani, Dinas Kehutanan, maupun Pemda setempat Harus lebih aktif dalam proses pelestarian alam. Pemahaman masyarakat mengenai dampak dari penebangan hutan sangatlah kurang. Sosialisasi mengenai lingkungan hidup perlu dan harus dilakukan. Masyarakat tidak sepenuhnya memahami akibat yang akan terjadi nantinya. Upaya penanganan dan pencegahan harus segera dilakukan, mulai dari reboisasi, rehabilitasi lahan kritis, pengelolaan hutan, serta menindak tegas para pelaku penebangan liar.
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari materi yang telah dipaparkan di atas, dapat di ambil beberapa kesimpulan yaitu:
1. Defoestasi merupakan suatu kondisi saat tingkat luas area hutan yang menunjukkan penurunan secara kualitas dan kuantitas.
2. Faktor penyebab deforestasi di antaranya: hak penguasa hutan, hak tanaman industri, perkebunan, illegal loging, konvensi lahan, program transmigrasi, dan kebakaran hutan.
3. Dampak dari deforestasi dapat menyebabkan keanekaragaman hayati berkurang, banjir, dan tanah longsor.
4. Upaya yang perlu dilakukan untuk melestarikan hutan: reboiasi, sistem tebang pilih tanam, dan menindak tegas pelaku yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan hutan.