google3394c6c8fadba720.html KUNCUP BIO: Makalah
SELAMAT DATANG DI TAUFIK ARDIYANTO'S BLOG

DESKRIPSI PENDIDIKAN SAAT SMA (slide)

SMA Negeri 1 Bandar Sribhawono adalah salah satu sekolah yang terletak di Lampung Timur

DESKRIPSI PERGURUAN TINGGI YANG DITEMPUH (DIJALANI)

Universitas Lampung (Unila) adalah salah satu perguruan tinggi di propinsi Lampung

DESKRIPSI PRIBADI

Taufik Ardiyanto adalah seorang pemuda yang dilahirkan tahun 1992 di kampung kecil Sribhawono

DESKRIPSI MENGENAI ISI BLOG INI

Blog ini memuat tentang informasi seputar pendidikan terutama yang menyangkut Biologi

DESKRIPSI MENGENAI HOBI DAN MINAT

Suka membaca, menulis dan bereksperimen adalah hobiku dan akan selalu auk kembangkan demi meraih cita-cita gemilang.

Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Februari 2012

Rekombinasi Gen

Rekombinasi genetika merupakan proses pemutusan seunting bahan genetika (biasanya DNA, namun juga bisa RNA) yang kemudian diikuti oleh penggabungan dengan molekul DNA lainnya. Pada eukariota rekombinasi biasanya terjadi selama meiosis sebagai pindah silang kromosom antara kromosom yang berpasangan. Proses ini menyebabkan keturunan suatu makhluk hidup memiliki kombinasi gen yang berbeda  dari orang tuanya, dan dapat menghasilkan alel kimerik yang baru.




Proses Rekombinan Gen
Selama meiosis, kromosom homolog, yang diwariskan dari setiap induk, menukarkan beberapa gennya dengan cara pindah silang. Kemudian kromosom homolog itu dan alel yang dibawanya memisah secara acak menjadi gamet yang terpisah. Gamet dari satu individu akan bervariasi susunan genetiknya. Masing-masing gamet mewakili satu hasil dari semua kemungkinan kombinasi antara kromosom maternal dan kromosom paternal.


Rekombinasi mengijinkan alel sama yang berdekatan satu sama lainnya pada unting DNA diwariskan secara bebas. Namun laju rekombinasi adalah rendah, karena pada manusia dengan potongan satu juta pasangan basa DNA, terdapat satu di antara seratus peluang kejadian rekombinasi terjadi per generasi. Akibatnya, gen-gen yang berdekatan pada kromosom tidak selalu disusun ulang menjauhi satu sama lainnya, sehingga cenderung diwariskan bersama.


Pengaruh Rekombinan Gen Terhadap Evolusi
Pada proses rekombinasi genetika, organisme seksual juga dapat bertukar ganti DNA antara dua kromosom yang berpadanan. Rekombinasi dan pemilahan ulang tidak mengubahan frekuensi alel, namun mengubah alel mana yang diasosiasikan satu sama lainnya, menghasilkan keturunan dengan kombinasi alel yang baru. Hal ini terus berlangsung dan akan menyebabkan terjadinya evolusi pada manusia


unduh makalah selengkapnya di sini



Minggu, 19 Februari 2012

Bimbingan Konseling dan Peran Evaluasi Guru Bidang Studi di Dalamnya

BAB II.  PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bimbingan Konseling

Pengertian Bimbingan
Kegiatan bimbingan dan konseling dapat mencapai hasil yang efektif bilamana dimulai dari adanya program yang disusun dengan baik. Program bimbingan berisi rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka pemberian layanan bimbingan dan konseling. Winkel dalam Soetjipto dan Kosasi (2009: 91) menjelaskan bahwa program bimbingan merupakan suatu rangakaian kegiatan terencana, terorganisasi, dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu.
Menurut pendapat Hotch dan Costor yang dikutip oleh Gipson dan Mitcheell (1981) program yang memberikan layanan khusus yang dimaksudkan untuk membantu individu dalam mengadakan penyesuaian diri. Program bimbingan itu menyangkut dua faktor, yaitu: (1) faktor pelaksana atau orang yang akan memberikan bimbingan dan (2) faktor-faktor yang berkaitan dengan perlengkapan, metode, bentuk layanan siswa-siswa, dan sebagainya, yang mempunyai kaitan dengan kegiatan bimbingan. (Abu Ahmadi dalam Soetjipto dan Kosasi, 2009: 91).
Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada individu dari seorang yang ahli, namun tidak sesederhana itu untuk memahami pengertian dari bimbingan. Pengertian tetang bimbingan formal telah diusahakan orang setidaknya sejak awal abad ke-20, yang diprakarsai oleh Frank Parson pada tahun 1908. Sejak itu muncul rumusan tetang bimbingan sesuai dengan perkembangan pelayanan bimbingan, sebagai suatu pekerjaan yang khas yang ditekuni oleh para peminat dan ahlinya. Pengertian bimbingan yang dikemukakan oleh para ahli memberikan pengertian yang saling melengkapi satu sama lain.
Banyak sekali pendapat para ahli mengenai pengertian bimbingan. Frank Parson merumuskan pengertian bimbingan dalam beberapa aspek yakni bimbingan diberikan kepada individu untuk memasuki suatu jabatan dan mencapai kemajuan dalam jabatan. Pengertian ini masih sangat spesifik yang berorientasi karir. “Bimbingan sebagai bantuan yang diberikan kepada individu untuk dapat memilih,mempersiapkan diri dan memangku suatu jabatan dan mendapat kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya” (Frank Parson ,1951).
“Bimbingan membantu individu untuk lebih mengenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri” (Chiskolm,1959). Bimbingan membantu individu memahami dirinya sendiri, pengertian ini menitik beratkan pada pemahaman terhadap potensi diri yang dimiliki.
“Bimbingan merupakan kegiatan yang bertujuan meningkatkan realisasi pribadi setiap individu” (Bernard & Fullmer ,1969). Bimbingan dilakukan untuk meningkatakan pewujudan diri individu. Dapat dipahami bahwa bimbingan membantu individu untuk mengaktualisasikan diri dengan lingkungannya.
“Bimbingan sebagai pendidikan dan pengembangan yang menekankan proses belajar yang sistematik” (Mathewson,1969). Mathewson mengemukakan bimbingan sebagai pendidikan dan pengembangan yang menekankan pada proses belajar. Pengertian ini menekankan bimbingan sebagai bentuk pendidikan dan pengembangan diri, tujuan yang diinginkan diperoleh melalui proses belajar.
M. Surya (1988:12) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian atau layanan bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan.

Bimbingan ialah penolong individu agar dapat mengenal dirinya dan supaya individu itu dapat mengenal serta dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya (Oemar Hamalik, 2000:193).

Bimbingan adalah suatu proses yang terus-menerus untuk membantu perkembangan individu dalam rangka mengembangkan kemampuannya secara maksimal untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat (Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, 1990:11).

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik sebuah inti sari bahwa bimbingan dalam penelitian ini merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada individu agar dapat mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin, dan membantu siswa agar memahami dirinya (self understanding), menerima dirinya (self acceptance), mengarahkan dirinya (self direction), dan merealisasikan dirinya (self realization).

Pengertian Konseling
Istilah konseling sering diartikan sebagai penyuluhan, walaupun sebenarnya kurang tepat. Untuk menekankan kekhususannya digunakan istilah bimbingan dan konseling. Kegiatan-kegiatan konseling mempunyai ciri sebagai berikut:
1.      Pada umumnya dilaksanakan secara individua\
2.       Pada umumnya dilaksanakan dalam suatu perjumpaan tatap muka
3.      Dibutuhkan orang yang ahli
4.      Tujuan diarahkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien.
5.      Klien pada akhirnya mampu memecahkan masalah dengan kemampuannya sendiri.
Konseling merupakan suatu proses untuk memebantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangn dirinya,dan untuk mencapai perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya ,proses tersebuat dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychologi)
Menurut Mc Daniel (1956) suatu pertemuan langsung dengan individu yang ditujukan pada pemberian bantuan kapadanya untuk dapat menyesuaikan dirinya secara lebih efektif dengan dirinyasendiri dan lingkungan.
Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan,motivasi,dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketige hal tersebut. (Berdnard & Fullmer ,1969)
Secara Etimologi berasal dari bahasa Latin “consilium “artinya “dengan” atau bersama” yang dirangkai dengan “menerima atau “memahami” . Sedangkan dalam Bahasa Anglo Saxon istilah konseling berasal dari “sellan” yang berarti ”menyerahkan” atau “menyampaikan”
Menurut Pepinsky dalam Shetzer & Stone (1974), konseling adalah interaksi yang(a)terjadi antara dua orang individu ,masing-masing disebut konselor dan klien ;(b)terjadi dalam suasana yang profesional (c)dilakukan dan dijaga sebagai alat untuk memudah kan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien.
Sedangkan, Smith dalam buku yang sama merumuskan bahwa konseling adalah suatu proses dimana konselor membantu konseli membuat interprestasi-interprestasi tetang fakta-fakta yang berhubungan dengn pilihan,rencana,atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuat.
Konseling adalah proses pemberian yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien (Prayitno, 1997:106).

Konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada seseorang supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan pada diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dan memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang (Mungin Eddy Wibowo, 1986:39).

Dari pengertin tersebut, ciri-ciri pokok konseling, yaitu:
(1) adanya bantuan dari seorang ahli,
(2) proses pemberian bantuan dilakukan dengan wawancara konseling,
(3) bantuan diberikan kepada individu yang mengalami masalah agar memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri dalam mengatasi masalah guna memperbaiki tingkah lakunya di masa yang akan datang.
Dari beberapa pengertian bimbingan dan konseling diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Bimbingan konseling merupakan proses bantuan psikologis dan kemanusiaan secara ilmiah dan profesional yang diberikan oleh pembimbing kepada yang dibimbing (peserta didik) agar ia dapat berkembang secara optimal, yaitu mampu memahami diri, mengarahkan diri, dan mengaktualisasikan diri, sesuai tahap perkembangan, sifat-sifat, potensi yang dimiliki, dan latar belakang kehidupan serta lingkungannya sehingga tercapai kebahagiaan dalam kehidupannya.
Menurut Tim MKDK IKIP Semarang (1990:5-9) ada lima hal yang melatarbelakangi perlunya layanan bimbingan di sekolah yakni:
(1) masalah perkembangan individu,
 (2) masalah perbedaan individual,
(3) masalah kebutuhan individu,
(4) masalah penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku, dan
(5) masalah belajar

2.2  Fungsi Bimbingan Konseling
Sugiyo dkk (1987:14) menyatakan bahwa ada tiga fungsi bimbingan dan konseling, yaitu:
a. Fungsi penyaluran ( distributif )
Fungsi penyaluran ialah fungsi bimbingan dalam membantu menyalurkan siswa-siswa dalam memilih program-program pendidikan yang ada di sekolah, memilih jurusan sekolah, memilih jenis sekolah sambungan ataupun lapangan kerja yang sesuai dengan bakat, minat, cita-cita dan ciri- ciri kepribadiannya. Di samping itu fungsi ini meliputi pula bantuan untuk memiliki kegiatan-kegiatan di sekolah antara lain membantu menempatkan anak dalam kelompok belajar, dan lain-lain.
b. Fungsi penyesuaian ( adjustif ).
Fungsi penyesuaian ialah fungsi bimbingan dalam membantu siswa untuk memperoleh penyesuaian pribadi yang sehat. Dalam berbagai teknik bimbingan khususnya dalam teknik konseling, siswa dibantu menghadapi dan memecahkan masalah-masalah dan kesulitan-kesulitannya. Fungsi ini juga membantu siswa dalam usaha mengembangkan dirinya secara optimal.
c. Fungsi adaptasi ( adaptif )
Fungsi adaptasi ialah fungsi bimbingan dalam rangka membantu staf sekolah khususnya guru dalam mengadaptasikan program pengajaran dengan ciri khusus dan kebutuhan pribadi siswa-siswa. Dalam fungsi ini pembimbing menyampaikan data tentang ciri-ciri, kebutuhan minat dan kemampuan serta kesulitan-kesulitan siswa kepada guru. Dengan data ini guru berusaha untuk merencanakan pengalaman belajar bagi para siswanya. Sehingga para siswa memperoleh pengalaman belajar yang sesuai dengan bakat, cita-cita, kebutuhan dan minat (Sugiyo, 1987:14)
Adapun fungsi khusus bimbingan dan konseling, yakni khususnya di sekolah, menurut H.M. Umar, dkk, dalam Salahudin (2010: 129) adalah sebagai berikut:
Menolong anak dalam kesulitan belajarnya
Berusaha memberikan pelajaran yang sesuai denga minat dan kecakapan anak-anak
Memberi nasihat kepada anak yang akan berhenti dari sekolahnya
Memberi petunjuk kepada anak-anak yang melanjutkan belajarnya, dan sebagainya.

2.3 Prinsip Bimbingan Konseling

Prinsip merupakan paduan hasil kegiatan teoretik dan telaah lapangan yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksudkan (Prayitno, 1997:219). Berikut ini prinsip-prinsip bimbingan konseling yang diramu dari sejumlah sumber, sebagai berikut:
a)      Sikap dan tingkah laku seseorang sebagai pencerminan dari segala kejiwaannya adakah unik dan khas. Keunikan ini memberikan ciri atau merupakan aspek kepribadian seseorang. Prinsip bimbingan adalah memperhatikan keunikan, sikap dan tingkah laku seseorang, dalam memberikan layanan perlu menggunakan cara-cara yang sesuai atau tepat.
b)      Tiap individu mempunyai perbedaan serta mempunyai berbagai kebutuhan. Oleh karenanya dalam memberikan bimbingan agar dapat efektif perlu memilih teknik-teknik yang sesuai dengan perbedaan dan berbagai kebutuhan individu.
c)      Bimbingan pada prinsipnya diarahkan pada suatu bantuan yang pada akhirnya orang yang dibantu mampu menghadapi dan mengatasi kesulitannya sendiri.
d)     Dalam suatu proses bimbingan orang yang dibimbing harus aktif , mempunyai bayak inisiatif. Sehingga proses bimbingan pada prinsipnya berpusat pada orang yang dibimbing.
e)      Prinsip referal atau pelimpahan dalam bimbingan perlu dilakukan. Ini terjadi apabila ternyata masalah yang timbul tidak dapat diselesaikan oleh sekolah (petugas bimbingan). Untuk menangani masalah tersebut perlu diserahkan kepada petugas atau lembaga lain yang lebih ahli.
f)       Pada tahap awal dalam bimbingan pada prinsipnya dimulai dengan kegiatan identifikasi kebutuhan dan kesulitan-kesulitan yang dialami individu yang dibimbing.
g)      Proses bimbingan pada prinsipnya dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan yang dibimbing serta kondisi lingkungan masyarakatnya.
h)      Program bimbingan dan konseling di sekolah harus sejalan dengan program pendidikan pada sekolah yang bersangkutan. Hal ini merupakan keharusan karena usaha bimbingan mempunyai peran untuk memperlancar jalannya proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan.
i)        Dalam pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah hendaklah dipimpin oleh seorang petugas yang benar-benar memiliki keahlian dalam bidang bimbingan. Di samping itu ia mempunyai kesanggupan bekerja sama dengan petugas-petugas lain yang terlibat.
j)        Program bimbingan dan konseling di sekolah hendaknya senantiasa diadakan penilaian secara teratur. Maksud penilaian ini untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan program bimbingan. Prinsip ini sebagai tahap evaluasi dalam layanan bimbingan konseling nampaknya masih sering dilupakan. Padahal sebenarnya tahap evaluasi sangat penting artinya, di samping untuk menilai tingkat keberhasilan juga untuk menyempurnakan program dan pelaksanaan bimbingan dan konseling (Prayitno, 1997:219).
Berdasakan Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan Konseling (2004) dinyatakan bahwakerangka kerja layanan BK dikembangkan dalam suatu program BK yang dijabarkan dalam 4 (empat) kegiatan utama, yakni:
a. Layanan dasar bimbingan 
Layanan dasar bimbingan adalah bimbingan yang bertujuan untuk membantu seluruh siswa mengembangkan perilaku efektif dan ketrampilan-ketrampilan hidup yang mengacu pada tugas-tugas perkembangan siswa SD.
b. Layanan responsif adalah layanan bimbingan yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh peserta didik saat ini. Layanan ini lebih bersifat preventik atau mungkin kuratif. Strategi yang digunakan adalah konseling individual, konseling kelompok, dan konsultasi. Isi layanan responsif adalah: 
(1) bidang pendidikan; 
(2) bidang belajar; 
(3)bidang sosial; 
(4) bidang pribadi; 
(5) bidang karir; 
(6) bidang tata tertib SD; 
(7) bidang narkotika dan perjudian; 
(8) bidang perilaku sosial, dan 
(9)bidang kehidupan lainnya.
c. Layanan perencanaan individual adalah layanan bimbingan yang membantu seluruh peserta didik dan mengimplementasikan rencana-rencana pendidikan, karir,dan kehidupan sosial dan pribadinya. Tujuan utama dari layanan ini untuk membantu siswa memantau pertumbuhan dan memahami perkembangan sendiri.

d. Dukungan sistem, adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara dan meningkatkan progam bimbingan secara menyeluruh. Hal itu dilaksanakan melalui pengembangaan profesionalitas, hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan guru, staf ahli/penasihat, masyarakat yang lebih luas, manajemen program, penelitian dan pengembangan (Thomas Ellis, 1990)

Kegiatan utama layanan dasar bimbingan yang responsif dan mengandung perencanaan individual serta memiliki dukungan sistem dalam implementasinya didukung oleh beberapa jenis layanan BK, yakni:
(1) layanan pengumpulan data, 
(2) layanan informasi, 
(3) layanan penempatan, 
(4) layanan konseling, 
(5) layanan referal/melimpahkan ke pihak lain, dan 
(6) layanan penilaian dan tindak lanjut (Nurihsan, 2005:21).

2.4 Peran Guru Bidang Studi dalam Layanan BK
Implementasi kegiatan BK dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar. Oleh karena itu peranan guru kelas dalam pelaksanaan kegiatan BK sangat penting dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan BK, yaitu:
a)      Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.
b)      Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.
c)      Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.
d)      Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
e)      Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.
f)       Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.
g)       Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar.
h)      Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
i)        Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.
Soetjipto dan Kosasi (2009: 107-111) menyatakan bahwa peranan guru dalam pelaksanaan bimbingan di sekolah dapat dibedakan menjadi dua: (1) tugas dalam layanan bimbingan dalam kelas dan (2) di luar kelas. Dalam layanan bimbingan, guru mempunyai beberapa tugas utama, sebagaimana dituangkan dalam Kurikulum SMA 1975 tentang Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Guru perlu mempunyai gambaran yang jelas tentang tugas-tugas yang harus dilakukannya dalam kegiatan bimbingan. Kejelasan ini dapat memotivasi guru untuk berperan secara aktif dalam kegiatan bimbingan dan mereka merasa ikut bertanggung jawab atas terlaksananya kegiatan itu.
Perilaku guru dapat mempengaruhi keberhasilan belajar. Oleh karena itu, guru harus dapat menerapkan fungsi bimbingan dalam kegiatan belajar-mengajar. Sehubungan dengan itu Rochman Natawidjaya dan Moh. Surya dalam Soetjipto dan Kosasi (2009: 108) mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam proses belajar-mengajar sesuai dengan fungsinya sebagai guru dan pembimbing, yaitu:
a)      Perlakuan terhadap siswa didasarkan atas keyakinan bahwa sebagai individu, siswa memiliki potensi untuk berkembang dan maju serta mempu mengarahkan dirinya sendiri untuk mandiri.
b)       Sikap yang positif dan wajar terhadap siswa.
c)       Perlakuan terhadap siswa secara hangat, ramah, rendah hati, menyenanagkan.
d)     Pemahaman siswa secara empatik.
e)      Penghargaan terhadap martabat siswa sebagai individu.
f)       Penampilan diri secara ahli (genuine) tidak berpura-pura di depan siswa.
g)      Kekonkretan dalam menyatakan diri.
h)       Penerimaan siswa secara apa adanya.
i)        Perlakuan terhadap siswa secara permissive.
j)        Kepekaan terhadap perasaan yang dinyatakan oleh siswa dan membantu siswa untuk menyadari perasaannya itu.
k)      Kesadaran bahwa tujuan mengajar bukan terbatas pada penguasaan siswa terhadap bahan pengajaran saja, melainkan menyangkut pengembangan siswa menjadi individu yang lebih dewasa.
l)        Penyesuaian diri terhadap keadaan yang khusus.
Abu Ahmadi (1977) dalam Soetjipto dan Kosasi (2009: 109) mengemukakan peran guru sebagai pembimbing dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, sebagai berikut:
a)      Menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap siswa merasa aman, dan berkeyakinan bahwa kecakapan dan prestasi yang dicapainya mendapat penghargaan dan perhatian.
b)       Mengusahakan aagar siswa-siswa dapat memahami dirinya, kecakapan-kecakapan, sikap, minat, dan pembawaannya.
c)      Mengembangkan sikap-sikap dasar bagi tingkah laku sosial yang baik.
d)     Menyediakan kondisi dan kesempatan bagi setiap siswa untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
e)      Membantu memilih jabatan yang cocok, sesuai dengan bakat, kemampuan, dan minatnya.
Di samping tugas-tugas tersebut, guru juga dapat melakukan tugas-tugas bimbingan dalam proses pembelajaran seperti berikut:
a)      Melaksanakan kegiatan diagnostik kesulitan belajar. Dalam hal ini guru mencari atau mengidentifikasi sumber-sumber kesulitan belajar yang dialami oleh siswa.
b)      Guru dapat memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya kepada murid dalam memecahkan masalah pribadi.
Tugas guru dalam layanan bimbingan tidak terbatas dalam kegiatan proses belajar-mengajar atau dalam kelas saja, tetapi juga kegiatan-kegiatan bimbingan di luar kelas. Tugas-tugas bimbingan itu antara lain:
a)      Memberikan pengajaran perbaikan (remedial teaching).
b)      Memberikan pengayaan dan pengembangan bakat siswa.
c)      Melakukan kunjungan rumah (home visit).
d)     Menyelenggarakan kelompok belajar, yang bermanfaat untuk: Membiasakan anak untuk bergaul dengan teman-temannya, bagaimana mengemukakan pendapatnya dan menerima pendapat dari teman lain. Merealisasikan tujuan pendidikan dan pengajaran melalui belajar secara kelompok. Mengatasi kesulitan-kesulitan, terutema dalam hal pelajaran secara bersama-sama. Belajar hidup bersama agar nantinya tidak canggungdi dalam masyarakat yang lebih luas. Memupuk rasa kegotongroyongan.
Beberapa contoh kegiatan tersebut memberikan bukti bahwa tugas guru dalam kegiatan bimbingan sangat penting. Kegiatan bimbingan tidak semata-mata tugas konselor saja. Tanpa peran serta guru, pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah tidak dapat terwujud secara optimal. Gibson dan Mitchell dalam soetjipto dan kosasi (2009: 111) menyatakan bahwa guru mempunyai peranan yang besar dalam program bimbingan dan konseling di sekolah.

Tugas utama guru kelas dalam layanan BK adalah sebagai berikut:
Membantu memasyarakatkan layanan bimbingan dan konseling kepada siswa.
Melakukan kerja sama dengan guru pembimbing dalam mengidentifikasi siswa yang memerlukan bimbingan dan konseling.
Mengalihtangankan (merujuk) siswa yang memerlukan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing.
Mengadakan upaya tindak lanjut layanan bimbingan dan konseling (program perbaikan dan program pengayaan, atau remedial teaching).
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh layanan bimbingan dan konseling dari guru pembimbing
Membantu mengumpulkan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian layanan bimbingan dan konseling
Menerapkan nilai-nilai bimbingan dalam PBM atau berinteraksi dengan siswa, seperti : bersikap respek kepada semua siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, atau berpendapat, memberikan reward kepada siswa yang menampilkan perilaku/prestasi yang baik, menampilkan pribadi sebagai figur moral yang berfungsi sebagai ”uswah hasanah”.
bertanggung jawab memberikan layanan bimbingan pada siswa dengan perbandingan 1 : 150 orang

2.5  Evaluasi Guru Bidang Studi dalam Kaitan Bimbingan Konseling
Evaluasi yang dilakukan oleh guru bidang studi kepada para siswa dapat termasuk tugas dalam layanan bimbingan dalam kelas. Guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.
Shertzer dan Stone (1966) mengemukakan pendapatnya: “Evaluation consist of making systematic judgements of the relative effectiveness with which goals are attained in relation to special standards“.
Evaluasi dapat diartikan sebagai proses pengumpulan informasi (data) untuk mengetahui efektivitas (keterlaksanaan dan ketercapaian) kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan dalam upaya mengambil keputusan. Pengertian lain dari evaluasi ini adalah suatu usaha mendapatkan berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari perkembangan sikap dan perilaku, atau tugas-tugas perkembangan para siswa melalui program kegiatan yang telah dilaksanakan.
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu Evaluation. Dalam buku “Essentials of Educational Evaluation”, Edwind Wand dan Gerald W. Brown, mengatakan bahwa : “Evaluation rafer to the act or prosses to determining the value of something”. Jadi menurut Wand dan Brown, evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari pada sesuatu. Sesuai dengan pendapat tersebut maka evaluasi pelaksanaan Bimbingan dan Konseling dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah yang diharapkan oleh Departemen Pendidikan.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Guba dan Lincoln mendefinisikan evaluasi itu merupakan suatu proses memberikan pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan (evaluand). Sesuatu yang di pertimbangkan itu bisa berupa orang, kegiatan, keadaan atau sesuatu kesatuan tertentu. ( Hamid Hasan 1998).
Dari konsep di atas, ada dua hal yang menjadi karakteristik evaluasi. Pertama, evaluasi merupakan suatu proses. Artinya, dalam suatu pelaksanaan evaluasi mestinya terdiri dari berbagai macam tindakan yang harus dilakukan. Dengan demikian evaluasi bukanlah hasil atau produk, akan tetapi rangkaian kegiatan. Untuk apa tindakan itu dilakukan. Dengan kata lain evaluasi dilakukan untuk menentukan judgment terhadap sesuatu. (Print, 1993).
Kedua, evaluasi berhubungan dengan pemberian nilai atau arti. Artinya, berdasarkan hasil pertimbangan evaluasi apakah sesuatu itu mem punyai nilai atau tidak. Dengan kata lain evaluasi dapat menunjukkan kualitas yang dinilai.
Perlu dijelaskan di sini bahwa evaluasi tidak sama artinya dengan pengukuran (measurement). Pengertian pengukuran (measurement) Wand dan Brown mengatakan : “Measurement means the art or prosses of exestaining the extent or quantity of something”. Jadi pengukuran adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan luas atau kuantitas dari pada sesuatu. Dari definisi evaluasi atau penilaian dan pengukuran (measurement) yang disebut diatas, maka dapat diketahui perbedaannya dengan jelas antara arti penilaian dan pengukuran. Sehingga pengukuran akan memberikan jawaban terhadap pertanyaan “How Much”, sedangkan penilaian akan memberikan jawaban dari pertanyaan “What Value”.
Walaupun ada perbedaan antara pengukuran dan penilaian, namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Karena antara pengukuran dan penilaian terdapat hubungan yang sangat erat. Penilaian yang tepat terhadap sesuatu terlebih dahulu harus didasarkan atas hasil pengukuran-pengukuran. Pada akhir pelaksanaan program Bimbingan dan Konseling selalu tercantum suatu kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan rencana tertentu.
Evaluasi merupakan proses yang sangat penting dalam kegiatan pendidikan formal. Bagi guru bidang studi evaluasi dapat menentukan evektifitas kinerjanya selama ini; evaluasi sering dianggap sebagai salah satu hal yang menakutkan oleh siswa. Oleh karena itu, memang melalui kegiatan evaluasi dapat ditentukan nasib siswa dalam proses pembelajaran selanjutnya. Anggapan semacam ini memang harus diluruskan. Evaluasi mestinya dipandang sebagai suatu proses kegiatan pembelajaran. Dengan demikian mestinya evaluasi dijadikan kebutuhan oleh siswa, sebab dengan evaluasi siswa akan tahu tentang keberhasilan pembelajaran yang dilakukan. Ada beberapa fungsi evaluasi yaitu:
1.      evaluasi merupakan alat yang penting sebagai umpan balik bagi siswa. Melalui evaluasi siswa akan mendapatkan informasi tentang efektifitas pembelajaran yang dilakukannya. Dari hasil evaluasi siswa akan dapat menentukan bagaimana pembelajaran yang perlu dilakukannya.
2.      Evaluasi merupakan alat yang penting untuk mengetahui bagaimana ketercapaian siswa dalam menguasai tujuan yang telah ditentukan. Siswa akan tahu bagian mana yang perlu dipelajari lagi dan bagian mana yang tidak perlu.
3.      Informasi dari hasil evaluasi dapat digunakan oleh siswa secara individual dalam mengambil keputusan khususnya dalam menentukan masa depan sehubungan dengan pemilihan bidang pekerjaan serta pengembangan karir.

Evaluasi sering dianggap sebagai kegiatan akhir dari suatu proses kegiatan. Demikian diungkapkan Miller (1985). Siswa di evaluasi setelah ia selesai melakukan suatu pelajaran, apakah ia berhasil atau tidak. Evaluasi berhubungan dengan dua fungsi. Kedua fungsi tersebut menurut Scriven (1967) adalah evaluasi sebagai fungsi sumatif dan evaluasi sebagai fungsi formatif. Fungsi sumatif adalah evaluasi itu digunakan untuk melihat keberhasilan suatu program yang direncanakan. Oleh karena itu, evaluasi sumatif berhubungan dengan pencapaian sesuatu hasil yang dicapai oleh suatu program. Evaluasi formatif dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung untuk melihat kemajuan belajar siswa. Print (1993) menjelaskan bahwa evaluasi ini dilakukan selama program pembelajaran berlangsung, maka sebenarnya evaluasi ini dapat pula berfungsi untuk memperbaiki proses pembelajaran. Arinya, hasil dari evaluasi formatif dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi guru dalam upaya memperbaiki kinerjanya.
Pendapat “Good” yang dikutip oleh I.Jumhur dan Moch. Surya (1975 :154), tentang evaluasi adalah : “Proses menentukan atau mempertimbangkan nilai atau jumlah sesuatu melalui penilaian yang dilakukan dengan seksama”.Sejalan dengan rumusan di atas, Arthur Jones memberikan batasan tentang evaluasi adalah sebagai berikut : “Proses yang menunjukkan kepada kita sampai berapa jauh tujuan – tujuan program sekolah dapat dilaksanakan”.
Lebih jauh Moch. Surya mengemukakan menilai bimbingan pada hakekatnya mengetahui secara pasti tentang bagaimana organisasi dan administrasi program itu, bagaimana guru-guru dan petugas-petugas bimbingan lainnya dapat berpartisipasi bagaimana pelaksanaan konseling dan bagaimana catatan-catatan kumulatif dapat dikumpulkan. Uraian tersebut merupakan penjabaran dari proses kegiatan Bimbingan dan Konseling, yang akhirnya perlu pula diketahui bagaimana hasil dari pelaksanaan kegiatan itu. Dengan kata lain bahwa penilaian yang dilakukan terhadap kegiatan Bimbingan dan Konseling ditujukan untuk menilai bagaimana kesesuaian program, bagaimana pelaksanaan yang dilakukan oleh para petugas Bimbingan, dan bagaimana pula hasil yang diperoleh dari pelaksanaan program tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa evaluasi terhadap kegiatan Bimbingan dan Konseling, mengandung tiga aspek penilaian, yaitu:
Penilaian terhadap program Bimbingan dan Konseling.
Penilaian terhadap proses pelaksanaan Bimbingan dan Konseling.
Penilaian terhadap hasil (Product) dari pelaksanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling.
Seorang guru bidang studi dalam melaksanakan evaluasi terhadap suatu materi yang telah diajarkan dapat pula mengatahui tingkat kematangan dan pengetahuan siswa pada materi itu. Siswa dikatakan berhasil bila evaluasi yang diberikan dapat mencapai standar kompetensi. Sedangkan siswa dikatakan belum berhasil bila hasil dari evaluasi tersebut belum mencapai standar kompetensi yang diberikan. Siswa-siswa yang belum mencapai standar kompetensi inilah yang perlu dipertanyakan dan melalui guru bidang studi inilah jawaban dari permasalahan terhadap suatu materi dapat diselesaikan.
Siswa-siswa yang mengalami masalah dalam proses pembelajaran, guru dapat membantunya dengan melakukan pendekatan, misalnya dengan melakukan pendekatan. Menanyakan apakah materi yang disampaikan terlalu sulit, terlalu banyak, atau memang pada diri siswa tersebut sedang menghadapi suatu masalah dalam kehidupan terlepas dari proses pembelajaran tetapi berdampak pada hasil evaluasi siswa tersebut. Guru bidang studi yang baik perlu memotivasi dan bersifat terbuka serta menerapkan asas kerahasiaan agar siswa tersebut mau terbuka untuk menyampaikan permasalahan. Bila masalah timbul pada proses pembelajaran oleh guru yang dirasa kurang tepat dilaksanakan oleh siswa tersebut, maka seorang guru dapat menerapkan inovasi pada proses kegiatan belajar mengajar agar tidak membosankan, selain itu guru juga dapat meluangkan waktu lebih untuk membimbing siswa yang dirasa kurang memahami materi agar benar-benar paham dan mengerti.
Evaluasi guru bidang studi biologi terhadap siswa dikelas merupakan bagian integral dalam proses pembelajaran yang dilakukan sebagai proses pengumpulan dan pemanfaatan informasi yang menyeluruh tentang hasil belajar yang diperoleh siswa untuk menetapkan tingkat ketercapaian dan penguasaan kompetensi. Artinya dalam hal ini seorang guru dalam melaksanakan evaluasi melakukan pengumpulan informasi dan dapat mengembangkan berbagai jenis evaluasi, baik evaluasi yang berkaitan dengan pengujian dan pengukuran tingkat kognitif siswa seperti menggunakan tes, maupun evaluasi terhadap perkembangan proses mental melalui penilaian sikap, dan evaluasi terhadap produk atau karya siswa. Evaluasi ini dilakukan dengan penilaian yang secara terus-menerus dalam setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa baik di dalam maupun diluar kelas, seperti laboratorium, dan lain-lain. Dengan demikian kegiatan evaluasi merupakan kegiatan yang tak terpisah dari proses pembelajaran.
Dari uraian di atas, minimal ada 3 manfaat yang ingin dicapai dalam evaluasi yang dilakukan guru bidang studi di dalam kelas:
1.      Menjamin agar proses pembelajaran yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencapai kompetensi sesuai dengan rambu-rambu yang terdapat dalam kurikulum.
2.      Menentukan berbagai kelemahan dan kelebihan baik yang dilakukan siswa maupun guru selama proses pembelajaran berlangsung. Analisis kelemahan ini sangat berguna untuk perbaikan proses pembelajaran, sehingga pembelajaran akan lebih efektif dan efisien.
3.      Menentukan pencapaian kompetensi oleh siswa, apakah siswa telah mencapai seluruh kompetensi yang diharapkan atau belum; bagian kompetensi mana yang sudah berhasil dikuasai oleh siswa, dan bagian mana yang belum berhasil dikuasai. Kesimpulan semacam ini memang sangat penting untuk diketahui sebagai bahan pelaporan baik kepada siswa itu sendiri, kepada orang tua, maupun kepada pihak yang dianggap perlu dan terkait dengan system penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Sebagai suatu proses, pelaksanaan penilaian yang dilakukan oleh guru bidang studi biologi harus terencana dan terarah sesuai dengan tujuan pencapaian kompetensi. Dalam kaiatannya dengan pembelajaran, guru bidang studi dapat menyelipkan beberapa prinsip-prinsip dalam bimbingan konseling.
Guru bidang studi dalam penilaian di dalam kelas dapat menyelipkan motivasi peningkatan belajar siswa melalui upaya pemahaman akan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh siswa. Dengan demikian penilaian tidak semata-mata untuk memberikan angka sebagai hasil dari proses pengukuran, akan tetapi siswa perlu memahami makna dari hasil penilaian. Dengan pemahaman ini diharapkan mereka dapat lebih termotivasi dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Adil, yaitu dalam arti setiap siswa memiliki kesempatan yang sama dalam proses pembelajaran tanpa memandang perbedaan social ekonomi, latar belakang budaya dan kemampuan. Oleh karena itulah mereka juga memiliki kesempatan yang sama untuk dievaluasi. Penilaian guru bidang studi menempatkan posisi siswa dalam kesejajaran, dengan demikian setiap siswa akan memperoleh perlakuan yang sama.
Terbuka, artinya alat penilaian yang baik adalah alat penilaian yang dipahami baik oleh penilai maupun yang dinilai. Siswa perlu memahami jenis atau prosedur penilaian yang akan dilakukan beserta criteria penilaian. Keterbukaan ini bukan hanya akan mendorong siswa untuk memperoleh hasil yang baik sehingga motivasi belajar mereka akan bertambah, tetapi sekaligus akan memahami posisi mereka sendiri dalam pencapaian kompetensi.
Penilaian guru bidang studi pada para siswa dilakukan tidak mengenal waktu kapan seharusnya penilaian dilakukan. Hal tersebut dilakukan karena penilaian dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan dan kemajuan siswa dalam pencapaian kompetensi. Dengan demikian, manakala berdasarkan evaluasi seorang siswa diketahui belum mencapai kompetensi sesuai dengan kriteria yang ditentukan, maka guru bidang studi harus mengulang kembali hingga benar-benar kompetensi itu telah tercapai secara master.
Penilaian yang dilakukan guru bidang studi harus tersusun terarah, sehingga hasilnya benar-benar memberikan makna kepada semua pihak khususnya kepada siswa itu sendiri. Melalui penilaian berbasis kelas, siswa akan mengetahui posisi mereka dalam memperoleh kompetensi. Di samping itu, mereka juga akan memahami kesulitan-kesulitan yang dirasakan dalam mencapai kompetensi. Dengan demikian hasil penilaian itu juga bermakna bagi guru dalam memberikan bimbingan kepada siswa dalam upaya memperoleh kompetensi (anonim,2003)

DAFTAR PUSTAKA 
Depdiknas. 2004. Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas.
Gunawan, Y., dan Catherine, D.L.S. 2001. Pengantara Bimbingan dan Konseling.   Jakarta ;PT. Prehallindo
M. Surya. 1988. Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta : UT.
Mungin Eddy Wibowo. 1986. Konseling di Sekolah Jilid I. FIP IKIP Semarang.
Nurihsan, Juntika. 2005. Manajemen Bimbingan Konseling di SD Kurikulum 2004. Jakarta: Gramedia Widiasaraan Indonesia.
Oemar Hamalik. 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Prayitno Erman Amti. 1997. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Depdikbud.
Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soetjipto dan Kosasi, R. 2007. Profesi Keguruan. Jakarta ; Rineka cipta
Sudrajat, A. (2010). Konsep Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling. Tersedia: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/02/03/evaluasi-program-bimbingan-dan-konseling-di-sekolah/
Sudrajat Ahmad. 2008. Peranan Kepala Sekolah, Guru, dan Wali Kelas Dalam
Bimbingan Konseling. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/08/13/ peranan-kepala-sekolah-guru-dan-wali-kelas-dalam-bimbingan-dan-konseling/ diakses tangal 11 Desember 2011
Sudrajat Ahmad. 2008. Peranan Guru dalam Prose Pendidikan.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/06/peran-guru-dalam-proses-pendidikan/ diakses tanggal 11 Desember 20201109.
Sugiyo, dkk. 1987. Bimbingan dan Konseling Sekolah. Semarang: FIP IKIP
            Semarang.
Sukardi, D.K.1989. Proses Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah.Jakarta; Penerbit Rineka Cipta
Sukardi, D.K.2007. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan konseling  di Sekolah.Jakarta; Penerbit Rineka Cipta.
Tim penyusun. 2003. Pengantar Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Tarsito
Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang. 1990. Bimbingan dan Konseling
Sekolah. Semarang: IKIP Semarang Press.

Selasa, 06 September 2011

HIV/AIDS Berbahaya!!

A. PENGANTAR

Sindrom cacat kekebalan tubuh atau AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang ditularkan dari seseorang ke orang lain oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus) telah hadir sebagai penyakit menular yang sangat menakutkan dan terus meminta korban. HIV berpindah dari ke orang lain melalui hubungan seksual, homoseksual dan biseksual dari seorang pengidap HIV, transfusi darah, jarum suntik, transmisi vertikal dari ibu kejanin.

Menurut catatan WHO, pada akhir tahun 2002 saja, dilaporkan sebanyak 45 juta kasus HIV. Kasus tertinggi terjadi di Afrika sebesar 28,1 juta kasus, menyusul daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara seperti, India, Thailand, Myanmar, Indonesia, dan lain-lain sebesar 6,1 juta kasus (Aditya, 2007). Menurut Hawari (2003) angka sebenarnya dari kasus HIV/AIDS adalah dikalikan 200, dengan didasarkan asumsi kecepatan penularan HIV tiap menitnya mampu menularkan kepada lima orang. Di Indonesia sendiri kasus HIV pertamakali ditemukan pada tahun 1987 di Bali, pada wisatawan asing dari Belanda. Laporan terbaru pada akhir September 2007 dilaporkan sebanyak 10,384 kasus HIV terjadi di Indonesia, dengan angka tertinggi di DKI Jakarta, sedangkan kasus HIV untuk Propinsi Jawa Timur sebesar 1,043 kasus (Depkes Riau, 2007).

Temuan di atas sangat mengejutkan banyak ahli, selama ini mereka beranggapan bahwa permasalahan HIV untuk konteks Indonesia tidak terlalu merisaukan, karena jumlah kaum homoseksual di Indonesia sebagai transmisi utama penularan HIV/AIDS sangat rendah, selain itu mereka beranggapan bahwa nilai moral dan agama masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat barat, namun booming informasi dari konsekuensi global vilage menyebabkan terjadinya pergeseran nilai di kalangan masyarakat, terutama pada kalangan pelajar dan mahasiswa. Beberapa penelitian melaporkan bahwa hubungan seksual di luar nikah sudah mulai dianggap hal ‘lumrah’ oleh sebagian orang. Bahkan temuan yang ‘menghebohkan’ di kota Jogjakarta yang notabene adalah kota pelajar ‘kumpul kebo’ dan aborsi bayi sudah dianggap hal biasa oleh masyarakat sekitar.

Temuan lain yang sangat mengejutkan para ilmuwan bahwa, pola penularan HIV/AIDS di Indonesia berbeda sama sekali dengan pola penularan di negara barat dan Afrika, bila di negara barat dan Afrika transmisi utama lewat kontak homoseksual dan heteroseksual, untuk wilayah Indonesia transmisi utama disebarkan melalui penggunaan narkotika intravena (intravena drug use), dan hubungan heteroseksual. Berikut ini gambaran umum transmisi utama penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.
 
Gambar 1. Grafik Trend Penularan Kasus AIDS, 1987-2001 di Indonesia (Sumber: Aditya, 2007)

Mengingat jumlah penderita yang terus meningkat dari tahun ke tahun, pemerintah mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007-2010, yang isinya dapat diringkas sebagai berikut; 1) penanggulangan HIV/AIDS sebagai prioritas nasional, 2) penanggulangan dilaksanakan melalui gerakan nasional, 3) memberi dukungan dana secara nasional, 4) memperkuat gerakan nasional penanggulangan HIV/AIDS. (Dinas Kesehatan Riau, 2007)

Akibat dari kebijakan tersebut, dapat dipastikan hampir sebagian besar orang saat ini, sudah mengetahui apa dan bagaimana HIV/AIDS, terutama pada aspek pencegahan dan penularan HIV/AIDS. Artikel-artikel dalam Bahasa Indonesia mengenai HIV/AIDS dengan mudah didapatkan, walaupun harus kita akui hanya terbatas pada artikel-artikel yang berkaitan dengan pencegahan penularan HIV/AIDS. (patut dipertanyakan pengetahuan yang baik mengenai HIV/AIDS agaknya tidak diiiringi dengan perilaku yang tepat, banyak perilaku masyarakat yang cenderung berisiko mis; penggunaan narkoba, free seks, dll)

Di sisi lain, artikel-artikel lokal (berbahasa Indonesia) mengenai informasi HIV/AIDS yang agak ‘berat’, seperti ‘bagaimana HIV bisa mengalahkan sistem kekebalan tubuh, bagaimana kajian molekuler HIV, bagaimana prospek pengobatan HIV, sangat jarang ditemukan (bila tidak boleh dikatakan tidak ada sama sekali). Padahal (menurut saya) pengetahuan mengenai hal ini juga diperlukan, untuk memberi pemahaman yang ‘komprehensif’ mengenai HIV/AIDS, bukan hanya tulisan-tulisan yang sekedar ‘menakuti-nakuti’ saja tanpa ada alasan jelas.

Berdasarkan pertimbangan di atas, pada makalah ini saya mengangkat artikel yang berjudul How HIV Defeat The Immune System (bagaimana HIV mengalahkan sistem kekebalan tubuh). Artikel ini diangkat dari majalah ilmiah Scientific American, edisi Agustus 1995, yang ditulis oleh Nowak dan McMichael, dua orang ahli virologi dan evolosi dari universitas Harvard dan Oxford. Artikel yang saya angkat ini memang termasuk dalam kategori artikel ‘tua’, namun menurut hemat saya, artikel ini penting untuk diketahui (paling tidak bagi saya) karena memberikan penjelasan yang cukup komprehensif mengenai bagaimana HIV dapat mengalahkan sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan full blown AIDS, selain itu artikel ini diakui oleh para ilmuan sebagai ‘titik entry’ penelitian lanjutan yang berusaha mengungkap rahasia kerja virus HIV, yang tentu saja nantinya diharapkan dapat membuka ‘jalan’ dihasilkan obat untuk HIV.

Pada makalah ini, saya menyajikan urutan penulisan makalah sebagai berikut, pada bagian awal saya mencoba menceritakan kembali isi artikel yang telah saya sebutkan di atas, pada bagian selanjutnya (pembahasan) saya mencoba menganalisis kritis isi artikel, sekaligus mencoba melengkapi informasi-informasi dari sumber bacaan lain yang saya anggap ‘kurang’ dijelaskan oleh artikel ini.


B. ISI ARTIKEL

Hubungan antara HIV dengan sistem kekebalan tubuh merupakan topik yang banyak menyita perhatian ilmuan-ilmuan dunia. Beberapa temuan penelitian mutakhir menyakinkan bahwa ‘replikasi berujung pada mutasi HIV’-lah yang banyak menyebabkan ‘rusaknya’ sel-sel sistem kekebalan tubuh setiap harinya. Pertumbuhan HIV berjalan sangat lambat, biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun tergantung pada kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mem-blokir laju replikasi HIV. Sayangnya bagaimanapun ’luar biasanya’ kemampuan sistem kekebalan tubuh bekerja, suatu saat akan mengalami ‘kekalahan’ juga oleh HIV, keadaan seperti ini disebut dengan full Blown AIDS.

Pada artikel ini penulis (Nowak dan McMichael), menjelaskan bagaimana HIV mampu ’menghindar’ dari respon ’pembantaian’ sistem kekebalan tubuh melalui bantuan evolutionary hypotesis (teori evolusi). Sekaligus penjelasan ini, akan memberikan ‘rasionalisasi’ dari karakteristik (typically) HIV yang khas yaitu, membutuhkan waktu yang sangat lama, dari saat mulai terinfeksi HIV sampai dengan tahap AIDS (kita ketahui jarak waktu antara infeksi HIV sampai dengan AIDS antara sepuluh tahun bahkan lima belas tahun lebih).

Nowak dan McMichael percaya bahwa kekuatan respons sistem kekebalan tubuh tergantung pada kesehatan seseorang. Pada kasus infeksi HIV, pada awalnya sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal dan sangat baik, namun karena mutasi HIV yang terus-menerus, menyebabkan variant-variant HIV (mutant HIV) menjadi melimpah, keadaan ini mengakibatkan sistem kekebalan tubuh ‘kesulitan’ bahkan ’gagal’ mengenali varian-varian HIV tersebut. Di sisi lain varian-varian HIV (mutant-mutant HIV) ini terus menyerang sistem kekebalan tubuh. Jika hal ini berlangsung terus menerus, dalam waktu tidak lama sistem kekebalan tubuh akan bekerja tidak efektif dan akhirnya akan mengalami ‘kekalahan’.

Untuk memahami hal tersebut, Nowak dan McMichael memandang perlu untuk diketahui oleh pembaca bagaimana sistem kekebalan tubuh bekerja ‘membasmi’ virus secara umum, dan bagaimana respon sistem kekebalan tubuh jika virus itu adalah virus HIV.


1. Perkelahian dalam Sistem Kekebalan Tubuh

Jika virus masuk ke dalam tubuh atau sel, sistem kekebalan tubuh dengan segera menuju sel yang terinfeksi, makropage dengan bantuan sel-sel lain akan menelan partikel virus tersebut dan menghancurkanya dalam bentuk fragmen-fragmen kecil peptida (protein fragment), peptida ini kemudian dikenali oleh protein yang disebut dengan HLAs (human leukocyte antigents). Setelah tahap ini, proses kemudian berlangsung sangat rumit dengan melibatkan sel darah putih yang biasa disebut helper T-lympocyte.

Setiap helper sel membawa reseptor yang mampu mengenali peptida atau epitope (peptida virus yang telah dihancurkan oleh macrophage). Jika sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal, helper cell akan berikatan dengan petida virus yang telah dihancurkan oleh macrophage yang ditampilkan pada bagian permukaan oleh HLAs, kemuadian helper cell ini mengeluarkan cairan protein (scretes small protein) yang membantu aktivasi dari sel immune lain, yaitu cytotoxic (killer T cell) dan B-Lympocyte (B cell). Dalam keadaan yang normal killer T cell secara langsung akan menyerang sel yang terinfeksi dan membunuhnya. Sedangkan B lympocyte (B cell) berperan dalam pembentukan anti bodi yang dapat mengenali secara spesifik peptida-peptida virus, hal ini dapat mengefisiensikan kerja sistem kekebalan tubuh, jika ada virus yang sudah dikenali oleh antibodi maka makrophage akan menghancurkanya secara langsung.

Keseluruhan respon di atas dipercaya ‘berpartisipasi’ dalam kemampuan bertahan hidup dari virus HIV, dengan ‘kata kunci’ kerja sistem kekebalan tubuh harus selalu tepat. Jika kerja sistem kekebalan tubuh ini ‘keliru’ (un-cheked) sedikit saja dalam mengenali hasil replikasi sebuah virus, maka dipastikan akan berakibat sangat fatal, yaitu jumlah virus akan bertambah luar biasa banyak tanpa dikenali oleh sistem kekebalan tubuh, jumlah helper cell akan menurun drastis, demikian juga dengan macrophage akibat dari ’pembunuhan’ oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri (senjata makan tuan).

Ketika terjadi infeksi, banyak T sel yang ‘binasa’ akibat partikel virus baru. T killer sel dan B sel bertahan dengan banyak ’membunuh’ sel yang terinveksi virus dan partikel virus. Akibat dari hal ini secara gradual jumlah virus menjadi menurun, keadaan ini memberikan kesempatan kepada tubuh untuk me-restore (mengkonservasi) kembali helper cell dalam kosentrasi yang normal. Namun demikian virus tetap ada, pada fase-fase ini biasanya hampir 30% orang yang terinfeksi menunjukkan beberapa gejala seperti ruam-ruam dan bengkak.

Pada fese kedua sistem kekekebalan tubuh berangsur-angsur berfungsi kembali dengan normal, dan jumlah ukuran virus relatif sangat rendah. Namun demikian jumlah level virus secara gradual berangsur-angsur meningkat pararel dengan ‘kerusakan’ dari populasi helper cell. Fakta ini menunjukkan bahwa menurunnya jumlah helper sel bukan disebabkan oleh kemampuan tubuh dalam memproduksi yang rendah, tetapi disebabkan oleh virus dan dibunuh oleh T killer sel sendiri. Keadaan ini sangat ironis T killer sel yang diperlukan untuk mengontrol inveksi HIV juga merusak helper sel untuk fungsi efisiensi.

Seseorang dikatakan telah terkena AIDS jika jumlah sel heper di bawah 200 sel/mikroliter, dengan jumlah normal seharusnya 1.000 sel/mikroliter. Dalam tingkatan seperti ini, level virus menanjak sangat luar biasa, dan aktivitas sistem kekebalan tubuh ‘drop’ sampai dengan nol. Akibatnya tubuh mengalami ketidakmampuan ‘membentengi’ diri dari segala penyakit, termasuk penyakit yang seharusnya tidak berbahaya bagi tubuh sekalipun. Pada keadaan seperti ini jarang penderita AIDS dapat bertahan lebih dari dua tahun.



2. Teori Evolusi untuk Menjelaskan Permasalahan

Teori evolusi selalu tidak bisa dilepaskan dari konsep mutasi. Mutasi adalah perubahan material genetik dari individu organisme dimana hasilnya berupa sifat yang diturunkan kepada turunannya untuk kemampuan bertahan hidup. Mutasi ini akan memberikan kemampuan kepada individu untuk tetap survival dan ber-reproduksi dengan lebih baik. Setelah waktu berlalu, nenek moyang mereka menurunkan sifat yang sama. Salah satu ’pemicu’ terjadinya evolusi adalah tekanan lingkungan.

Ketika Nowak dan koleganya mempelajari bagaimana siklus hidup HIV, dia menemukan kemiripan dengan fakta-fakta pada mikroba, yang biasanya ’luar biasa’ dalam ’menghindarkan’ diri dan menyesuaikan diri dari keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sebagai contoh, jika material genetik dibuat berubah secara konstan; maka rata-rata mutasi menjadi tinggi, hal ini memberikan kemungkinan beberapa material genetik berubah dengan sifat yang lebih advantagous. Macam material genetik ‘utama’ adalah komponen dari enzim virus yaitu reverse transcriptase. Di dalam sel, virus menggunakan enzim ini untuk meng-copy RNA genom menjadi double strand DNA. DNA ini kemudian dimasukkan ke dalam inti sel yang diinfeksi, kemudian inti sel ini ‘disandera’ untuk memproduksi RNA virus dan protein virus. Elemen-elemen ini, pada gilirannya akan lepas dari sel yang baru ‘disabotase’ tadi, dan kemudian mencari sel-sel ’sabotase’ lainnya. Mutasi virus diduga terjadi selama proses tersebut, karena pada kegiatan tersebut mudah terjadi kesalahan (error prone). Keadaan ini dapat diperkirakan, jika setiap waktu enzim meng-copy RNA menjadi DNA baru dan merubah kembali menjadi RNA baru, maka rata-rata perbedaan variasi dari generasi-generasi virus akan luar biasa tinggi. Pola ini menyebabkan mengapa virus HIV dikenal dengan banyak varian-varian.


3. Skenario dari Kemajuan Penyakit (Disease Progression)

Dengan pengetahuan yang baik dalam pikirannya mengenai evolusi HIV, Nowak dan McMichel mengembangkan sebuah skenario (dengan menggunakan simulasi komputer dan model matematika) untuk menjelaskan ‘bagaimana virus HIV mampu ‘bertahan’ dari kegiatan ‘pembasmian’ oleh sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan AIDS, yang biasanya membutuhkan waktu yang sangat lama’. Skenario yang dikembangkan didasarkan pada asumsi mutasi berjalan dengan konstan, dimana gen virus (viral gens) tetap melanjutkan produksi dengan varian-varian virus yang mampu bertahan dari kerja ‘pembasmian’ sistem kekebalan tubuh dari waktu ke waktu. Varian-varian virus ini muncul sebagai akibat dari perubahan-perubahan struktur dari peptida virus (epitopes) yang ‘gagal’ dikenali sistem kekebalan tubuh.

Hasil dari simulasi tersebut menunjukkan bahwa, beberapa frekuensi perubahan tidak memperlihatkan pengaruh terhadap aktivitas sistem kekebalan tubuh (sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal), tetapi suatu saat terlihat peptida virus menjadi tidak terlihat oleh sistem kekebalan tubuh. Keadaan ini lama-kelamaan akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh kesulitan mengenali partikel virus. Nowak dan McMichael berhipotesis bahwa kemampuan mutasi menyebabkan kemampuan varian-varian virus untuk tetap survival, setelah sistem kekebalan tubuh sangat reaktif dalam ‘pembasmian’ terhadap partikel virus ini.


Virus merusak fungsi sistem kekebalan dengan menyebabkan kematian helper sel, dan kemudian jumlah virus meningkat luar biasa. Selain itu juga virus secara terus menerus memproduksi varian-varian virus yang mampu menghindar dari serangan sistem kekebalan tubuh, dan varian-varian akibat mutasi virus ini (mutant) menyebabkan tingginya populasi virus. Pada saat sistem kekebalan tubuh dapat menemukan mutant-mutant ini, menyebabkan populasi virus menjadi menurun secara drastis

Hasil dari simulasi tersebut juga menunjukkan bahwa, dibutuhkan waktu tunggu yang lama antara tahap inveksi HIV dengan tahap AIDS. Hasil simulasi ini juga dapat menjelaskan mengenai mengapa siklus dari penghindaran dan represi tidak teridentifikasi, tetapi pada akhirnya menyebabkan replikasi virus menjadi tidak terkontrol, yang diakhiri dengan ‘kehilangan’ populasi sel helper dan menyebabkan AIDS.

Secara khusus, model yang dikembangkan oleh Nowak dan koleganya menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh ‘dapat bertahan’ lagi dari beberapa varian virus secara simultan, sayangnya setelah setelah beberapa tahun ketika varian-varian virus HIV sudah sangat luar biasa banyak, dan batas kemampuan kerja sistem kekebalan tubuh telah terlampaui, sistem kekebalan tubuh tidak mampu lagi mengendalikan virus. Batasan kemampuan sistem kekebalan tubuh berbeda dari orang satu dengan orang lain.

Nowak dan koleganya mencoba memberikan penjelasan intuitif (intuitive explanation) mengenai ‘mengapa kehadiran multiple varian dari HIV dapat merusak efisiensi kerja sistem kekebalan tubuh’. Nowak menjelaskan fenomena ini dengan mengibaratkan pertempuran antara dua pasukan tentara, yaitu pasukan HIV dan pasukan sistem kekebalan tubuh. Pasukan HIV adalah pasukan generalis yang mampu menyerang setiap musuh. Sedangkan pasukan sistem kekebalan tubuh adalah pasukan specialis (khusus), yang hanya mampu ’membunuh’ dan mengenali musuh tertentu (pada cerita ini ditandai dengan bendera tertentu).

Pada awal pertempuran, pasukan sistem kekebalan tubuh terlihat sangat ’perkasa’ karena mereka mampu mengenali pasukan-pasukan HIV yang membawa bendera tertentu dan membunuhnya. Setelah beberapa waktu pasukan HIV berkembang menjadi tiga pasukan, dengan setiap pasukan HIV tersebut membawa bendera yang berbeda-beda. Pada keadaan ini, pasukan sistem kekebalan tubuh juga membagi dirinya menjadi tiga pasukan, setiap satu pasukan hanya mengenali satu bendera dari satu pasukan lawan (pasukan HIV). Dalam kondisi demikian pasukan sistem kekebalan tubuh dalam posisi yang dirugikan (tidak menguntungkan). Setiap pasukan sistem kekebalan tubuh hanya mengenali satu bendera dari satu pasukan lawan yang mempunyai tiga bendera, sebaliknya ketiga pasukan HIV dapat mengenali ketiga pasukan sistem kekebalan tubuh untuk ditandai dan dibunuh oleh pasukan sistem kekebalan itu sendiri. Keadaan ini berlangsung terus menerus sampai dengan pasukan sistem kekebalan tubuh ’dihabisi’ oleh pasukannya sendiri tanpa sisa.


4. Prediksi dari Keadaan Penyakit

Selain dapat digunakan untuk menjelaskan konsep batas dari keragaman virus, model yang dikembangkan oleh Nowak dan koleganya juga dapat digunakan untuk menjelaskan ’mengapa beberapa penderita HIV dengan cepat sampai pada tahap AIDS sedangkan sebagian penderita-penderita lainnya membutuhkan waktu yang sangat lama?’. Untuk menjelaskan ini, konsep kunci-nya adalah respon sistem kekebalan tubuh untuk ’membasmi’ epitopes (virus peptida). Efisiensi dari kemampuan pertahanan tidak hanya ditentukan dari banyaknya angka mutasi dari epitopes, namun juga dipengaruhi oleh kemampuan tubuh untuk mengkonservasi (me-restore) ulang sistem kekebalan tubuh. (banyak anggota aktif dari sistem kekebalan tubuh yang terus mengenali setiap infeksi virus). Karenanya, tubuh mampu mengontrol virus yang tidak terindentifikasi, dalam keadaan keragaman varian virus yang tinggi. Dalam keadaan ini pada beberapa penderita, pertumbuhan HIV terlihat lambat. Jika respon sistem kekebalan tubuh untuk mengontrol sistem kekebalan tubuh lemah, sedangkan kemampuan untuk mengkonservasi sistem kekebalan tubuh juga lemah, dalam kasus ini, HIV level akan meningkat tajam akibat dari respon sistem kekebalan tubuh yang kurang.

Jika kombinasi dari respon sistem kekebalan tubuh untuk konservasi kurang dan varian-varian epitope sangat tinggi dan tidak dapat dikontrol, HIV akan berkembang dengan luar biasa cepat. Dalam situasi begini partikel virus original menjadi berkembang biak tanpa banyak tekanan dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan ini beberapa penderita dapat meningkat menjadi AIDS walaupun tanpa kehadiran keragaman virus yang signifikan.

Hasil simulasi dari Nowak dan koleganya juga dapat menjelaskan, apa saja yang terjadi pada populasi virus pada saat awal HIV. Beberapa hari, sebelum sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik, varian-varian virus bereplikasi dengan luar biasa cepat. Karenanya para penderita pada saat ini, terinveksi oleh oleh beberapa variant virus, setelah waktu yang sangat pendek banyak dari virus dalam tubuh berubah dengan sangat cepat dengan banyak variasi. Keadaan ini disebut dengan fase acute dari penyakit.

Setelah sistem kekebalan tubuh mulai lebih aktif, kebertahanan hidup menjadi complicable untuk HIV, dalam waktu yang tidak lama replikasi berlangsung secara bebas, virus juga mampu menyerang ’bangsal’ sistem kekebalan tubuh. Dalam keadaan ini Nowak memprediksi, bahwa seleksi tekanan menyebabkan meningkatnya keragaman dari epytope yang tidak mampu dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Akibatnya sistem kekebalan tubuh akan collapses.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, berikut ini ditampilkan hasil dari model skenario perkembangan penyakit yang dikembangkan oleh Nowak dan McMichael dengan berbagai tipe (tipe lambat, tipe cepat, dan tipe normal)
 

Gambar 6. Tipe Perkembangan Penyakit AIDS (Sumber: Nowak, 1995)


5. Pemusatan Studi Kepada Killer Sel

Model matematika yang dikembangkan oleh Nowak dan McMichael hanya diperuntukkan bagi sistem kerja immune sebagai unit kesatuan sistem kekebalan tubuh. Model tersebut tidak bisa memberikan penjelasan dengan baik mengenai aktifitas dari beragam tipe sel yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Salah satunya adalah adalah killer sel, killer sel juga mengalami tekanan yang luar bisa dari HIV. Untuk menjawab pertanyaan ini Nowak dan koleganya mencoba mendesain model yang secara spesifik dapat ’mengamati dan memeriksa’ tingkah laku dari killer sel.

Model ini mulai dikembangkan sejak McMichael salah satu kolega Nowak kebingungan oleh hasil penelitiannya dalam melacak respons killer sel terhadap HIV yang tidak menunjukkan gejala apapun pada penderita. Studi ini berlangsung selama kira-kira lima tahun untuk menduga pengaruh dari molekul HLA yang berbeda terhadap kemampuan dari penderita untuk melawan serangan virus.

Penelitian klinis menjelaskan respon dari killer sel dalam beragam epitope dalam internal protein HIV yang disebut dengan gag. Tiga dari penderita menggunakan HLA varian B27 untuk menampilkan, dan dua pasien lainnya menggunkana HLA varian B8. Pada pasien B27, killer T sel merespons secara langsung satu fragment dari gag protein, yang mana secara tidak signifikan tidak mengalami variasi selama dalam penelitian. Pada pasien B8, aktivitas killer T sel diarahkan terhadap perlawanan set dari tiga segmen lain dari gag. Seluruhnya ada tiga epitope hasil mutasi dihasilkan selama penelitian, dan banyak dari peptida mutant yang dihasilkan tidak dikenali oleh killer T sel. Penelitian ini merupakan dokumen pertama yang dapat menjelaskan eksistensi dari virus mutant terhadap serangan dari killer T sel pada tubuh manusia.


6. Mengapa Killer Sel Menjadi Tersesat

Untuk menjawab pertanyaan ini, Nowak dan koleganya mengembangkan sebuah model simulasi komputer tentang respon killer T sel terhadap HIV. Program simulasi ini didasarkan asumsi bahwa ’banyak dari hasil dari pemotongan partikel virus yang telah menginfeksi sel yang ditampilkan oleh HLA dikenali oleh killer T sel. Model ini juga berasumsi banyak dari epitope mempunyai kemampuan untuk bermutasi, sehingga karenanya dihasilkan banyak varian virus dari epitope-epitope ini.

Model ini bekerja dengan asumsi mutasi epitope berjalan dengan acak, dan kemudian dilacak pertumbuhan dari setiap varian virus baru, serta kelimpahan dari killer t sel setelah menyerang setiap epitope. Kelimpahan dari killer T sel menentukan pengenalan terhadap epitope.

Hasil dari model simulasi komputer sangat kompleks. Pada pokoknya, meskipun semua sistem kekebalan tubuh bekerja dengan normal dan berhasil namun pada saatnya akan hancur juga, seiring dengan fluktuasi dari respon sistem kekebalan tubuh, seperti halnya pada dua pasien yang memproduksi molekul HLA tipe B8. Fluktuasi ini tampaknya disebabkan kompetisi antara populasi killer T sel dengan sistem kekebalan tubuh.

Berdasarkan perhitungan Nowak, dalam tubuh, satu clone dari killer T sel hanya mengenali satu epitope. Pada saat killer T sel bekerja dengan melibatkan banyak clone akibatnya populasi virus menjadi sangat rendah, dengan demikian mengurangi jumlah dari sinyal stimulus dari T sel. Akhirnya T sel clone yang mengenali banyak dari epitope.

Proses seperti itu akan memberikan keuntungan dan bisa menghapuskan virus, jika virus itu tidak pernah berubah. Di sisi lain, jika epitope sangat dominant dalam respons mutasi, maka T sel clone tidak akan mengenali hasil dari mutant-mutant virus tersebut. Virus akan berlipat ganda tanpa dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh.


7. Pemikiran Tentang Potensi Pengobatan

Berdasarkan model yang telah dikembangkan sebelumnya Nowak dan koleganya mencoba memikirkan tentang potensi pengobatan HIV/AIDS. Nowak melihat dari hasil simulasi bahwa seseorang yang mempunyai sistem kekebalan tubuh yang mampu secara stabil mengenali satu atau beberapa epitope mempunyai kemungkinan mampu mengontrol virus lebih baik daripada seseorang yang mampu merespon jumlah epitope yang banyak.

Nowak juga menyatakan perlunya studi yang mendalam mengenai HLA dengan segera, karena pada bagian ini merupakan titik entry dari sistem penyerangan HIV terhadap sistem kekebalan tubuh. Jika hal ini dapat segera diketahui maka proses pencegahan dan penyembuhan HIV/AIDS merupakan keniscayaan. Nowak juga menyatakan bahwa jika sudah berhasil dikembangkan sebuah model kerja penyakit HIV secara akurat, maka akan berimplikasi terhadap pengembangan vaksin untuk penyembuhan dan pencegahan. Nowak juga menyarankan dalam pengobatan tidak hanya single therapy tetapi multy therapy, karena kemampuan virus dalam bermutasi yang luar biasa tinggi.


8. Suatu Pandangan yang Luas Tentang Dinamika HIV

Temuan dari studi klinis dan simulasi matematika menunjukan replikasi secara masive dalam inveksi para penderita, HIV bermutasi dengan sangat cepat dan menghasilkan sekian banyak keragaman populasi virus. Mutant-mutant ini mampu menghindari serangan dari sistem kekebalan tubuh dan muncul secara dominant sampai dengan sistem kekebalan tubuh ’mampu’ bangkit kembali. Namun setiap mutant yang berhasil ’meloloskan’ diri dari pembunuhan sistem kekebalan tubuh memulai menggandakan dirinya menjadi lebih banyak dengan varian-varian yang berbeda. Keadaan ini tentu saja menyebabkan sistem kekebalan tubuh berusaha menandai ’mulai’ awal setiap sel yang terinveksi oleh HIV dan membunuhnya. Laju pertubuhan HIV yang tinggi menyebabkan ketidak seimbangan sistem kekebalan tubuh dengan jumlah populasi HIV, akibatnya sel HIV juga menginveksi sel-sel sistem kekebalan tubuh seperti helper sel, macrophage bahkan killer T sel, akibat dari hal ini sistem pertahanan tubuh juga menandai dirinya sendiri untuk dibunuh. Sehingga sistem kekebalan tubuh secara berangsur-angsur akan mengalami penurunan hingga sampai titik nol, keadaan ini disebut dengan AIDS.


B. PEMBAHASAN

1. Analisis Kritis Isi Artikel
Isi artikel yang telah dipaparkan pada bagian pemaparan isi artikel sebelumnya secara umum (menurut saya) sangat menarik. Hanya saja ada beberapa hal yang harus mendapat catatan dan perhatian khusus, yaitu:

    Pada tulisan artikel ini, menurut saya ada ’mata rantai konsep’ yang terputus, sehingga pembaca dengan pengetahuan yang minim mengenai biologi dan virus HIV (seperti saya) akan kesulitan dalam memahaminya. seperti; bagaimana struktur HIV sebenarnya?, bagaimana daur hidup HIV sebenarnya?, apakah HIV berbeda dengan retrovirus lainnya?, bagaimanakah sistem kekebalan tubuh bekerja secara normal?. Hal-hal di atas merupakan pengetahuan ’pra-sarat’ yang harus diketahui oleh pembaca sebelum dapat memahami isi artikel ini. Tidak dibahasnya ’mata rantai konsep’ yang telah disebutkan, sebenarnya dapat dimaklumi ’mungkin’ penulis berasumsi bahwa pembaca telah mengetahui dan memahami hal-hal tersebut.

    Pada halaman 43 dalam artikel, pada sub pokok bahasan ’evolutionary theory predict trouble’ dijelaskan penyebab utama sulitnya sistem kekebalan tubuh untuk ’membasmi’ virus HIV adalah kemampuan mutasi virus yang sangat tinggi sehingga sistem kekebalan tubuh ’kesulitan’ dalam mengenali HIV. Penjelasan pada bagian ini, kurang mampu menjelaskan secara gamblang/detail mengenai bagaimana proses ’penghindaran’ HIV terhadap kegiatan ’pembasmian’ sistem kekebalan tubuh, padahal pada bagian ini merupakan bagian yang terpenting dari isi artikel sebagaimana tersurat dalam judul artikel. Pada awalnya saya berharap mendapat kejelasan mengenai hal itu dari gambar HIV versus Immune system yang divisualisasikan dalam artikel, setelah saya cermati, ternyata gambar tersebut tidak menggambarkan sedikitpun bagaimana HIV ’menghindari’ kegiatan pembasmian oleh sistem kekebalan tubuh. Gambar tersebut justru lebih banyak ’menceritakan’ siklus hidup virus HIV. Sedangkan proses mutasi HIV yang merupakan ’pemicu’ HIV viral tidak dikenali sistem kekebalan tubuh tidak digambarkan sedikitpun oleh penulis.

    Pada halaman 44 dalam artikel, pada sub pokok bahasan a Sceneario Disease Progresion, penulis membuat simulasi komputer mengenai skenario perkembangan penyakit, dengan menggunakan asumsi basis data perkembangan (replikasi) HIV/AIDS yang tidak dijelaskan (disebutkan) secara jelas, padahal (menurut saya) asumsi basis data ini sangat penting, karena berkaitan dengan kemampuan memprediksi perkembangan viral HIV selanjutnya. Saya menduga (berdasarkan tulisan pada bagian lain (hal 46 alinea 2 dalam artikel) bahwa asumsi yang digunakan adalah perkembangan viral HIV secara eksponensial, jika dugaan saya benar maka temuan (hasil) simulasi hanya dapat digunakan untuk kasus HIV/AIDS dimana penderita tidak mengalami treatment/pengobatan sama sekali. Karena dengan adanya pengobatan atau treatment, maka asumsi perkembangan eksponensial menjadi gugur. Sebagai ilustrasi untuk hal ini; ’mengestimasi/memprediksi’ penduduk pada tahun tertentu, berdasarkan data penduduk dari tahun ke tahun kita bisa memprediksi penduduk pada tahun ke-n, namun dengan asumsi rata-rata pertumbuhan yang sama (r yang sama), jika pada rentang waktu ke-n tersebut terjadi kejadian luar biasa yang berkaitan dengan bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk secara ekstrim (misal; tsunami, peperangan yang banyak memakan korban) maka hasil/produk estimasi menjadi tidak tepat lagi. Fenomena ini juga berlaku bagi kasus simulasi yang dikembangkan oleh Nowak, yaitu hanya berlaku pada penderita HIV yang tidak mengalami pengobatan apapun.

Berdasarkan catatan-catatan di atas, untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif perlu dibahas dan dijawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada poin-poin analisis kritis di atas, dengan menggunakan sumber-sumber artikel dan tulisan-tulisan dari ahli lain yang menunjang. Berkaitan dengan catatan analisis kritis nomor 1, maka akan dibahas hal-hal sebagai berikut; 1) bagaimana struktur HIV, 2) bagaimana daur hidup HIV, 3) bagaimana kerja sistem kekebalan tubuh. Berkaitan dengan catatan analisis kritis pada nomor 2 akan dibahas; 4) bagaimana HIV menghindari pembasmian kekebalan tubuh lewat mutasi, 5) mengapa masa inkubasi HIV berbeda dari penderita satu kependerita lain (bagaimana HIV menyebabkan fullblown AIDS). Sedangkan catatan analisis kritis pada nomor 3 tidak dibahas secara khusus, karena menurut saya ’catatan’ tersebut sudah cukup jelas.


2. Pembahasan Terhadap Analisis Kritis Isi Artikel

a. Struktur HIV

AIDS disebabkan oleh sebuah virus. Ukuran virus penyebab AIDS berukuran sepersepuluh ribu milimeter. Virus penyebab AIDS pertama kali ditemukan oleh Luc Montagnier dari Institute Pasteur Paris di Prancis pada tahun 1983, Montagnier berhasil mengisyaratkan ada suatu virus di dalam darah penderita AIDS dan menamakan virus tersebut Limphadenopaty Associated Virus (LAV). Satu tahun kemudian, tepatnya pada bulan mei 1984 seorang ahli dari Amerika Serikat yang bernama Robert Galo dari National Cancer Institute, berhasil menemukan virus serupa yang ia berinama Human T Cell Lympotropic Virus (HTLV). (Morthesen dan Krier, 2007).

Agar tidak terus-menerus menjadi pertentangan mengenai nama virus tersebut pada bulan Mei 1986 WHO melalui komite Taksonomi Internasional memberi nama virus penyebab AIDS ini dengan nama HIV (Human Immunodeviciency Virus), yang digolongkan dalam famili retroviridae, nama ini diberikan pada jenis virus yang mempunyai kemampuan yang ’unik’ yaitu mampu menstransfer informasi genetik dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebur reverse transcriptase. (Sardjito, 1994). Lebih lanjut dijelaskan, karena HIV mempunyai kemampuan replikasi balik, menyebabkan virus mempunyai kemampuan ’menyandera’ sel inang untuk digunakan sebagai ’mesin replikatif’ dalam memproduksi dirinya sendiri, maupun zat yang diinginkan oleh virus itu sendiri (Volker, 1993).

Menurut Volker (1993), secara umum struktur virus HIV dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian selubung (envelope) dan bagian inti (core). Lihat Gambar 7, pada bagian envelope tersusun oleh lapisan lipid bilayer yang serupa dengan plasma membran pada sel manusia, dan memang merupakan derivat dari plasma membran sel pada manusia. Lapisan membran ini terdiri dari tiga protein yang melengkapi bagian envelope yaitu; 1) trans-membrane protein (TM; gp 41), 2) the knob, seperti pada protein permukaan (SU; gp 120) dan bagian luar, 3) matrik protein (MA; p17) pada bagian dalam. Maksud dari (p) adalah melambangkan protein, (gp) melambangkan glycoprotein, angka yang mengikuti adalah perkiraan ukuran molekular dari protein dalam kilo dalton yang ditentukan dari elektophoresis.

Bagian kedua dari struktur HIV adalah bagian core (inti). Pada bagian ini berbentuk roughly bullet, dengan bagian luar ‘skin’ dibentuk dari protein capsid (CA; p24), pada bagian dalam ada dua molekul RNA, setiap RNA dilapisi oleh nucleo-casid protein (NC; p7). Ada tiga enzim berasosiasi dengan RNA-NC complex, yaitu enzim protease (PR; p11), reverse transcriptase (RT; p66), integrase (IN; p32), virus juga mempunyai protein-protein lain yang fungsinya belum teridentifikasi.
 
 Gambar 7. Struktur HIV (Sumber: Volker, 1993)


b. Daur Hidup Virus HIV

Proses infeksi HIV pada sel manusia diawali dengan pengikatan the knob (SU) protein pada reseptor sel inang CD4 (Cluster of Differentiation) (Volker, 1993). Protein SU dengan gp 120 mengandung delapan belas residu asam amino sistein. Residu asam amino ini dapat membentuk ikatan disulfida dengan sel inang, sehingga dapat membentuk ikatan yang sangat kuat antara HIV dengan sel inang (Putney dalam Senam, 1999). Selanjutnya trans membran protein (TM) menetrasi (penetrates) sel membran inang, dan kemudian proses selanjutnya terjadi membran fusi di antara keduanya, keadaan ini membuka jalan inti virus masuk ke dalam sel . Setelah inti virus masuk ke dalam sel, maka prosews produksi DNA dari RNA viral dimulai.

Langkah pertama yang dilakukan oleh HIV adalah, nucleocapsid (NC) protein harus dirubah (dipecah) untuk memberikan akses kepada RNA virus dengan reverse transcriptase (RT) enzim. Fakta secara invitro, menunjukkan ada hubungan antara pembelahan Nucleocapsid (NC) dengan kehadiran Protease Protein (PR). Langkah selanjutnya enzim reverse transcriptase mengkatalis terjadinya polimerisasi deoksinukleotida pada cetakan RNA, dan menghasilkan single strand DNA, setelah sintesis terjadi secara lengkap dihasilkan DNA strand lengkap (double strand DNA) yang kemudian ditransportasikan menuju inti sel inang. Pada saat ini enzim integrase (IN) juga ditransportasikan ke dalam inti sel inang, untuk membantu memasukkan (mengintegrasikan) DNA viral ke dalam DNA sel inang. Hasil akhir dari integrasi DNA viral dengan DNA sel inang disebut dengan provirus (Volker, 1993).

Pada tahap selanjutnya adalah proses ‘sabotase’ sel inang oleh virus HIV. Sel inang ‘dimanfaatkan’ oleh virus sebagai ‘mesin replikatif’ untuk ‘memproduksi’ dirinya sendiri, yang kemudian meninggalkan sel inang untuk mencari ‘korban’ sel yang lain. Secara lebih jelas daur hidup virus HIV dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
 
 Gambar 8. Siklus Hidup HIV

c. Bagaimana Kerja Sistem Kekebalan Tubuh

Secara singkat, bila kita berbicara tentang sistem kekebalan tubuh, selalu tidak terlepas dari kehadiran sel darah putih (lympocytes), lympocytes ini mampu mengenali secara spesifik zat asing yang masuk ke dalam tubuh (patogen). Jika patogen spesifik masuk ke dalam tubuh, patogen ini akan difagosit oleh tipe lain dari sel darah putih yang disebut dengan macrophage, kemudian macrophage ini akan ’menelan’ spesifik patogen tersebut dan memotong-motongnya menjadi potongan-potongan kecil yang biasa disebut dengan antigen. Potongan-potongan kecil ini (antigen) dibawa pada lekukan dalam protein yang dikenal dengan HLAs (Human Leucocyte Antigen) dan ditampilkan dalam membran macrophage. Spesifik T limpocytes yang dikenal dengan T helper sel kemudian mengenali antigen ini. Diaktivasinya T helper sel ini menyebabkan ia membelah secara cepat, dan menghasilkan jumlah sel yang identik dan mempunyai kemampuan mengenal antigen yang sama.

Menurut McMichael (1996), langkah selanjutnya, akibat aktivasi sel helper akan mengaktifkan sel lain yaitu; B sel (B limfosit) dan killer sel (Cytotoxic T cell) dan Tdth (delayed type hiper sensitive cells). B sel berperan dalam pembentukan antibodi, sedangkan killer T sel akan berikatan dengan ’body’ sel yang terinfeksi oleh patoghen dan kemudian akan membunuhnya dengan mengeluarkan toksin. Sedangkan Tdth menyebabkan tipe alergi jika terdapat patoghen atau substansi asing. Secara lebih jelas sistem kerja sistem immune dapat dilihat pada Gambar 9 berikut:
 
 Gambar 9. Kerja Sistem Kekebalan Tubuh (Sumber: http://www.hhmi.org)


5. Bagaimana HIV Menghindari Pembasmian Sistem Immune

Berdasarkan penjelasan Nowak (dalam artikel yang saya angkat), kemampuan HIV menghindari pembasmian oleh sistem kekebalan tubuh dijelaskan melalui teori evolusi, terutama yang berkaitan dengan konsep mutasi yang kemudian diturunkan kepada turunanya.

Nowak menduga, penghindaran HIV dari kegiatan pembasmian sistem immune melalui proses mutasi ’dimulai’ pada saat transkripsi balik untuk meng-copy genom RNA menjadi double strand DNA sampai dengan pengubahan kembali DNA menjadi RNA. Pada saat DNA dimasukan ke dalam sekumpulan kromosom inang, yang kemudian terjadi proses ’pembajakan’ oleh virus untuk memproduksi dirinya sendiri, pada saat rangkaian proses ini mutasi mudah terjadi, karena proses ini agak mudah ’rusak’. Dari penjelasan Nowak diketahui bahwa setiap enzim meng-copy balik dari DNA ke RNA virus kembali, rata-rata RNA baru ini mempunyai bentuk tampilan yang berbeda sama sekali dari generasi sebelumnya, karena pola inilah virus HIV dikenal dengan virus yang mudah berubah. Penjelasan Nowak ini (menurut saya) sangat bagus, namun sayang tidak dijelaskan kelanjutannya terutama dihubungkan dengan kerja sistem kekebalan tubuh, sehingga virus bisa menghindar dari proses pembasmian.

Tertarik dengan hal di atas, saya mencoba mencari literatur lain yang dapat menjelaskan proses tersebut. Salah satu artikel yang mampu menjelaskan dengan sangat baik mengenai hal ini adalah artikel dari Andrew McMichael (1996), yang sebenarnya juga salah satu anggota penulis artikel yang saya angkat, berjudul How HIV Fools The Immune System, artikel ini saya unduh dari http://www.tulane.edu/~dmsander/www/335/McMichael/McMichael.html. Uraian berikutnya mengenai penjelasan bagaimana HIV menghindari pembasmian sistem kekebalan tubuh, sebagian besar informasi berasal dari artikel tersebut.

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa, sejak sel inang diinfeksi oleh virus, maka macrophage akan memotong-motong viral protein menjadi potongan-potongan kecil yang disebut dengan antigen, yang kemudian akan ditampilkan pada HLA. Jika semua berjalan dengan baik helper sel akan menandainya dan mengaktivasi dua sel lain yaitu B sel untuk memproduksi antibodi, dan killer T sel untuk membunuh sel yang telah ditandai terinfeksi oleh virus. Akibat sebenarnya sel yang telah terinveksi virus ditandai untuk dibunuh oleh sel killer T sel untuk keberlangsungan sel lainnya. Berdasarkan penjelasan McMichael (1996) ’penandaan’ antigen ini merupakan proses yang harus selalu tepat, bila terjadi kesalahan, walaupun sedikit saja maka sistem kekebalan tubuh dalam keadaan berbahaya. Dasar inilah yang kemudian digunakan oleh McMichael menjelaskan mengapa HIV terlepas dari proses ’pembunuhan’ sistem kekebalan tubuh.

Sayangnya (melanjutkan penjelasan Nowak sebelumnya) HIV merupakan virus yang mempunyai kemampuan berubah (bermutasi) yang sangat tinggi, sehingga ia ’menemukan jalan’ menggagalkan proses ’penandaan’ yang berunjung pada proses ’pembantaian’ ini. Pada kenyataanya perubahan kecil saja akibat mutasi yang telah dijelaskan sebelumnya, sudah mampu merubah struktur dari peptida virus, dan perubahan ini akan merusak ’fit’ antara peptida dengan HLA sehingga terjadi kegagalan ’penandaan’. Hasilnya adalah petida viral menjadi tidak dikenali oleh killer Sel karena bentuk dan strukturnya telah berubah. Penjelasan ini secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11 berikut:
 
 Gambar 10. Pembasmian Sel yang terinveksi HIV jika sistem kekebalan tubuh bekerja normal (sumber: http://www.tulane.edu)
Gambar 11. Kegagalan Proses Penandaan disebakan Rusaknya ’fit’ akibat Mutasi 

6. Bagaimana HIV Menyebabkan Fullblown AIDS.

Melanjutkan penjelasan sebelumnya, akibat ’kegagalan’ killer T sel merespon serangan HIV dan membunuh helper sel, menyebabkan virus mereplikasi diri dengan sangat cepat. Jika killer T sel mampu mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi HIV, maka virus dapat dikontrol, namun hal ini akan berlangsung beberapa waktu saja; karena helper sel yang diinveksi oleh HIV juga akan dibunuh oleh killer T sel, dan yang ’menyedihkan’ pemeliharaan respon dari killer T sel tergantung pada helper sel, jika sel helper yang juga diserang oleh virus HIV ini juga harus dibunuh oleh killer sel, maka suatu saat kerja sistem pembasmian immune menjadi terganggu (lihat kembali bagaimana sistem immune bekerja).

Rata-rata ’kegagalan’ ini dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk intrinsic aggresion seperti strain HIV, kesehatan individual, yang memberikan kemampuan untuk me-replenish stok helper sel dari respon killer sel. Kekuatan dari killer sel tergantung pada besarnya mutasi virus. Penjelasan ini agaknya dapat menjelaskan bagaimana HIV menyebabkan AIDS, dan mengapa setiap orang

berbeda-beda masa tunggu dari HIV menuju AIDS. Untuk lebih jelas penjelasan ini dapat divisualisasikan seperti pada Gambar 12 berikut.
 
C. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan pada bagian isi artikel dan pada bagian pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

    Infeksi HIV pada sel inang melalui mekanisme pengikatan HIV pada membran sel inang yang kemudian diikuti dengan dengan terintegrasinya DNA virus setelah replikasi dari RNA dengan katalis enzim reverse transcriptase kedalam genom sel inang, kemudian dilanjutkan dengan proses ’sabotase’ oleh virus untuk memproduksi dirinya sendiri

    HIV dapat menghindari sistem kekebalan tubuh, dengan memanfaatkan kemampuan mutasi mereka yang begitu cepat, sehingga mengubah struktur HIV yang berbeda dari satu dengan yang lainya, hal ini mengakibatkan sistem kekebalan tubuh kesulitan mengenalinya, sehingga gagal untuk dibasmi, sehingga jumlah virus meledak tajam untuk menginfeksi sel yang lain.

    HIV dapat menginveksi sel limposit, seperti helper sel, sel makrophage dan sel sistem kekebalan tubuh lainnya, sehingga dapat mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh inang.

sumber