Seiring dengan semakin berkembangnya IPTEK dan kemajuan globalisasi, pendidikan pun dituntut untuk selalu berinovasi sehingga dapat mengikuti perkembangan peradaban dunia hingga dapat bersaing di era global. Pemerintah telah berupaya aktif dalam membuat program pengembangan pendidikan di Indonesia, seperti contohnya kurikulum. Hampir setiap tahun terjadi pergantian kurikulum, seperti GBPP 1998, KBK dan KTSP . Contoh lainnya selain kurikulum adalah MBS(Manajemen Berbasis Sekolah), sekolah dituntut untuk mengurusi rumah tangganya sendiri berikut pelaksanaannya.bila kita lihat , terdapat perbedaan yang mendasar antara pola lama dengan pola baru manajemen pendidikan. Pada pola lama manajemen pendidikan, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program daripada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sementara itu, pada pola baru manajemen pendidikan sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan partsisipasi masyarakat makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan daripada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi-diri sekolah daripada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (efficiency-based budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efisien.
MBS dan Peningkatan Mutu Pendidikan
Timbul banyak pertanyaan mengenai tingkat keberhasilan sekolah yang menjalankan MBS, Apakah ada jaminan bahwa penerapan pembaharuan dalam pola manajemen (pengelolaan) sekolah (MBS) dengan peningkatan mutu sekolah atau pendidikan?. Pertanyaan tersebut juga dikemukakan oleh Abu-Duhou (1999), Wohlstetter & Mohrman (1996). Beberapa penelitian dan kajian MBS di beberapa negara menunjukkan bahwa MBS tidak serta merta menjamin peningkatan mutu pendidikan, terutama apabila MBS dilaksanakan secara sempit atau dilaksanakan secara parsial.
Kajian tentang mutu dalam pendidikan dapat ditinjau dari aspek input, proses, output dan dampak serta manfaat.
1. Pendidikan yang bermutu mengacu pada berbagai input seperti tenaga pengajar, peralatan, buku, biaya pendidikan, teknologi, dan input-input lainnya yang diperlukan dalam proses pendidikan.
2. Mengaitkan mutu pada proses (pembelajaran), dengan argumen bahwa proses pendidikan (pembelajaran) itu yang paling menentukan kualitas. Jika mutu ingin diraih, maka proses harus diamati dan dijadikan fokus perhatian. Melalui proses, penyelenggara pendidikan dapat mengembangkan pendidikan, metoda, dan teknik-teknik pembelajaran yang dianggap efektif.
3. Orientasi mutu dari aspek output mendasarkan pada hasil pendidikan (pembelajaran) yang ditunjukkan oleh keunggulan akademik dan nonakademik di suatu sekolah.
Bahkan saat ini mutu pendidikan tidak hanya dapat dilihat dari prestasi yang dicapai, tetapi bagaimana prestasi tersebut dapat dibandingkan dengan standar yang ditetapkan, seperti yang tertuang di dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 35 dan PP No. 19 Tahun 2005.
Penetapan standar untuk melihat mutu pendidikan masih banyak yang didasarkan pada keinginan yang kuat dari pengguna (customer) dan pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan.
Pandangan tentang mutu pun kemudian meliputi berbagai aspek kompetensi. Bukan hanya menyangkut ranah kognitif tetapi juga afektif, psikomotor, dan bahkan spiritual. Mutu tidak hanya terfokus pada pencapaian atau prestasi akademis (academic achievement), tetapi juga bidang-bidang nonakademik, seperti prestasi seni, ketrampilan sosial, keterampilan vokasional, serta penghayatan dan pengamalan spiritual dalam bentuk budi pekerti luhur.
Pentingnya pelanggan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia direspon positif oleh pemerintah dengan dibentuknya Komite Sekolah, yang antara lain menyalurkan aspirasi masyarakat pengguna jasa pendidikan. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan penerapan MBS sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, khususnya pasal 51, ayat (1). Dalam penjelasan pasal ini, yang dimaksud manajemen berbasis sekolah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan yang dalam hal ini kepala sekolah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.
Simpulan bahwa konsep mutu itu bersifat dinamis dan seharusnya selalu merespon tuntutan pelanggan pendidikan dan stakeholders lainnya. Oleh karena itu, walaupun bukti empirik belum menunjukkan bahwa MBS dapat menjamin peningkatan mutu pendidikan, tetapi dalam konteks mutu yang lebih luas di atas, maka pendekatan pengelolaan MBS pada satuan pendidikan akan dapat merealisasikan konsep mutu dimaksud.
Dengan diberlakukannya MBS diharapkan sekolah lebih leluasa dalam mengatur kebijakannya, tidak hanya terpaku pada program yang telah dicanangkan pemerintah tetapi menjadi lebih mandiri. MBS juga diterapkan tidak hanya sekolah umum tetapi juga sekolah kejuruan baik negeri maupun swasta.
0 komentar:
Posting Komentar